Sabtu, 26 November 2011

TULUSNYA HATI WANITA SOLEHAH ITU…


Wanita solehah adalah sebaik-baik keindahan
Menatapnya menyejukkan qolbu
Mendengarkan suaranya menghanyutkan bathin
Di tinggalkan menambah keyakinan
Wanita solehah adalah bidadari syurga yang hadir di dunia
Wanita solehah adalah ibu dari anak-anak yang mulia
Wanita solehah adalah istri yang meneguhkan jihad suami
Wanita solehah menebar rahmat bagi rumah tangga cahaya dunia akhirat
Lantunan syair itu membuat hatiku rapuh dalam sujudku… aku tak dapat menaikkan tubuhku yang sudah tersungkur hampir satu jam di atas sajadah ini. Air mataku meleleh layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Sesenggukan dan terkadang meyayat hati.
Oh inikah rasanya patah hati? Seketika membuatku menjadi melankolis dan rapuh. Hanya sebuah cinta bisa membuatku bukanlah Amir yang mereka kenal. Amir seorang pengambil kebijaksanaan, Amir seorang kepercayaan bos besar!!! Sungguh berat kuhentikan tangisan ini…
Ya Allah inikah rasanya kehilangan orang yang sangat dicintai?? Teramat berat kurasa…
Wanita solehah impianku akankah menjadi bagian dari hidupku??…
***
Sudah satu jam ini aku menunggu pesawat pemberangkatanku ke tanah air. Kontrak kerjaku sudah habis di sana. Aku akan pulang ke Indonesia dan mulai usahaku dari tabunganku selama bekerja di sana. Amira gadisku setia menungguku di sini. Ia asli Yordania. Tinggi, putih dan yang membuatku tertarik padanya adalah sorotan matanya yang tajam. Berbalut jilbab panjang warna coklat sangat pas ia kenakan ketika aku pertama kali bertemu di lobi hotel tempatku menginap ketika aku menjalani liburan kantor.
Ia yang menjadi Guide ku selama aku liburan di Yordania di Petra sebuah situs arkeologikal, terletak di dataran rendah di antara gunung-gunung yang membentuk sayap timur Wadi Araba, lembah besar yang berawal dari Laut Mati sampai Teluk Aqaba. Petra adalah kota yang didirikan dengan memahat dinding-dinding batu di Yordania. Petra berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘batu’. Petra merupakan simbol teknik dan perlindungan. Aku kagum dengan sosoknya yang paham betul dengan situs arkeologi itu. Tak biasanya Guide wisata ini adalah perempuan. Ia lancar berbahasa Inggris dan kami mulai akrab di sana.
Sejak itu kami sering mengirim kabar lewat email. Aku kagum padanya. Ia cerdas dan wawasannya luas. Sejak itu kami makin akrab dan kamipun memulai hubungan serius. Aku kedua kalinya jatuh cinta. Dulu pertama kali aku jatuh cinta pada teman kuliahku di Jakarta dulu. Tapi karena aku belum siap, ia menikah duluan dan kini ia sudah mempunyai anak dua. Sejak itu aku tidak pernah jatuh cinta lagi. Aku termasuk susah untuk jatuh cinta.
Dan setelah bertemu dengan Amira aku mulai merasakan getar itu lagi. Getaran yang dulu pernah aku rasakan pada Uswah pacarku dulu bahkan lebih. Kali ini aku serius ingin meminang gadis Yordan itu.
Aku kunjungi keluarga Amira. Mereka menerimaku dengan baik. Walau kami beda Negara, orangtuanya tidak mempermasalahkan apa-apa. Aku semakin mantap dengan pilihanku kali ini.
***
Kepulanganku kali ini bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku juga akan mengatakan kepada keluargaku tentang niatku ini. Aku akan meminang gadis pujaan hatiku. Gadis yang aku cintai dan mencintai aku. Amira dengan sabar menungguku untuk naik ke pesawat. Kali ini jilbab yang ia kenakan berwarna merah, berbunga-bunga namun aku melihat dari sorot matanya yang sayu bahwa ia ingin mengatakan tak rela melepasku pergi.
Waktu tlah tiba… aku kan meninggalkanmu tuk sementara
Kau seakan berbicara jangan pergi
Tapi aku hanya dapat berkata……
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Sabarlah menanti…
Guratan senyum tersungging dari bibirnya yang ranum setelah mendengar rayuanku. Aku bukan merayu tapi aku telah berjanji padanya akan kembali. Aku pun segera masuk ke dalam ruang tunggu untuk menuju pesawat karena sudah tiba waktunya aku pergi. Amira melemparkan senyumnya yang tulus. Subhanallah gadis inikah yang akan mengisi hari-hariku nanti. Ya Allah permudahkan kami untuk bersatu.
Kepulanganku ke tanah air disambut oleh keluarga besarku. Mereka bangga denganku. Mereka merindukanku. Benar saja karena aku adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Aku dulu selalu dimanja oleh ibuku. Dan ketika aku pergi meninggalkan keluargaku seakan ada yang hilang dari mereka. Terutama ibuku. Ibu yang beberapa hari selalu murung ketika aku akan pergi bekerja ke Riyadh. Seperti yang aku katakan pada Amira, aku akan kembali pada Ibu… ibu pun rela melepasku pergi.
Makan malam keluarga besar di gelar sehari setelah kedatanganku. Buka puasa bersama di rumah orangtuaku. Beberapa keponakanku berlarian kesana kemari. Semua kakak-kakaku kumpul di rumah yang telah menjadikanku besar seperti ini. Di rumah dimana dulu aku selalu di didik oleh orangtuaku.
Selepas sholat magrib berjamaah kami kumpul di ruang makan. Pembicaraan ringan menghiasi meja makan kami. Rencana-rencana kakak-kakakku dan yang lain dikemukakan sekalian minta doa dari ayah dan ibu. Kini giliran si bungsu mengemukakan keinginannya.
“Amir, usia kamu sudah cukup untuk menikah. Pekerjaan pun sudah mapan. Tunggu apa lagi? Apa perlu abang carikan calon buat kamu?” Bang Hasan kakak keduaku yang paling dekat denganku bertanya padaku.
Aku tersenyum dan kebetulan makananku sudah selesai juga yang lain jadi tidak terlalu mengganggu makan malam kami. “Ayah, ibu sebelumnya Amir minta maaf karena berita ini mendadak dan Amir tidak bicara kepada yang lainnya tentang hal ini” Aku mengambil gelas di sampingku. Rasanya deg degan juga. Aku menenangkan diri dengan meneguk beberapa air.
Kemudian aku bercerita tentang Amira. Beberapa yang mendengarkan ada yang kagum dengan ceritaku ada juga yang sepertinya akan menyerangku dan berkata tidak setuju dengan pilihanku. Semua resiko sudah aku pilih.
Ibu langsung berkata “Amir, apa tidak ada gadis asli Indonesia yang bisa kamu jadikan istri? Tidak terlalu jauh Negara itu dengan Indonesia? Ibu sudah tua nak. Ibu tidak sanggup jika bepergian kesana dan jika ibu rindu dengan kamu juga anak-anakmu nanti apakah kamu tega membiarkan ibu dan ayah pergi ke sana?” Aku mencoba tenang dengan penolakan langsung dari ibu.
“Iya nak. Kami sudah tidak muda lagi. Sudah sering capek jika berjalan jauh. Bukannya kami tidak percaya kamu jarang pulang ke Indonesia, kami juga ingin sekali-kali mengunjungi rumahmu jika sudah menikah nanti. Tapi jarak Negara itu terlalu jauh bagi kami nak…” Ayah menyambung pembicaraan ibu.
“Tapi yah, bu… Amir dan Amira akan hidup di Indonesia. Kami akan membangun usaha di sini…” Aku mencoba memberikan mereka pengertian.
“Bukan soal itu sebenarnya nak… coba pikirkanlah sekali lagi” Ayah menutup pembicaraan ini.
Aku menarik nafas. Kakak-kakaku diam. Bang Hasan mencoba untuk menenangkanku dengan mengelus pundakku karena ia duduk di sampingku. Pembicaraan ditutup dengan keputusan yang gamang. Aku disuruh untuk memikirkan keputusanku lagi. Amira gadisku bagaimana nasibku jika aku tak bisa kembali padamu?
Esoknya aku berbicara kepada orangtuaku tentang hal ini kembali. Semua kakakku menyerahkan keputusanku pada kedua orangtuaku karena restu masih pada mereka. Namun hasilnya tetap sama. Ayah dan ibu masih tidak menyetujui jika aku menikah dengan Amira.
Maka di malam takbiran disaat umat muslim mengumandangkan takbir tanda syukur dengan nikmat yang Allah berikan, tanda sebuah kemenangan, sangat berbeda dengan keadaanku. Aku menahan tangisanku di atas sajadah ini. Berharap ayah dan ibu membuka hatinya untuk menikahkanku pada Amira.
Perlahan aku bangun dari sujudku. Kuhapus air mataku. Aku terus mengucapkan takbir dalam kesunyian malam. Bayang wajah Amira muncul di setiap ku pejamkan mata. Oh bagaimana kabar gadisku di sana Ya Allah… adakah ia juga merindukanku seperti aku merindukannya saat ini?
Kubenahi peralatan solatku. Aku membuka komputer dan berniat menghubungi Amira. Aku kirim pesan singkat padanya bahwa aku sedang On Line. Tak lama kemudian Amira juga online. Ia terlihat sangat bahagia dengan kehadiranku. Ia sangat menungguku datang dan memberiku kabar bahagia dari ayah dan ibu.
Aku tak tega memberinya kabar yang tidak enak ini. Aku hanya mencoba ia untuk bersabar dan terus berdoa. Amira menangis. Sangat jelas air matanya turun dari kedua mata indahnya. Aku bisa melihatnya dari kamera. Aku pun tak dapat menahan air mataku lagi. Dan ah… aku tutup saja komputernya tak dapat ku teruskan jika begini. Aku kembali rapuh. Maafkan aku Amira…
Sudah empat bulan aku membangun usaha di Indonesia. Aku buka usaha makanan cepat saji di sebuah counter di mall. Cukup banyak juga pengunjungnya. Aku lupa dengan kesedihanku. Aku terkadang rindu dengan suara Amira, aku rindu dengan tatap matanya, terkadang ia memberiku surat elektronik dan ku balas datar. Tak ada kata rindu dalam jawaban surat itu. Walau sebenarnya aku sangat merindukannya. Biarlah ia menganggapku jahat agar ia bisa bahagia mencari yang lain. Aku memang pengecut. Namun selama ini tak ada gadis yang bisa menempati ruang hatiku selain ia. Padahal ayah, ibu juga kakak-kakakku sering mengenalkanku pada gadis yang sudah siap menikah juga. Mulai dari anak Kiai sampai anak pengusaha juga. Tak satupun bisa mengubah posisi Amira di hatiku.
Hingga datang seorang pelanggan restoranku. Fikria namanya. Ia bekerja sebagai wartawan di salah satu majalah muslim di Jakarta. Ia enam tahun lebih muda dariku. Aku sering merasa terhibur dengan cerita-ceritanya, dengan karyanya yang kadang ia berikan padaku. Ia menganggapku sebagai abangnya saja.
Fikria gadis ceria. Tak pernah aku melihatnya murung. Kami akrab karena aku butuh ia dengan segala bentuk keceriaannya. Aku bisa menghapus kesedihanku selama ini. Ia pun selalu mendengarkan cerita-ceritaku tentang Amira. Fikria mendukungku untuk menjemputnya di sana.
“Ka Amir, cobalah kakak terus mengambil hati orangtua kakak. Mungkin saja saat ini mereka belum tahu siapa mbak Amira itu. Kalau saja kak Amir menunjukkan keseriusan kakak untuk menikah dengan mbak Amira, mungkin saja orangtua kakak mau menerimanya” Fikria duduk di depanku dan sambil mengaduk-aduk es campur pesanannya ketika berbicara itu.
“Iya sih de’, kakak juga bingung dengan keadaan ini. Bagai buah simalakama. Jika pilih orangtua Amira akan terluka, jika pilih Amira kakak bisa-bisa tidak dapat restu dari orangtua de’ huh… bingung kakak jadinya”
“Kakak jangan memilih… Ria kan tadi bilang ke kakak untuk meyakinkan lagi orangtua. Kalau kakak yakin, hati orangtua bisa luluh kok…”
“Tapi de’ guru kakak juga menyarankan untuk mencari gadis Indonesia aja… aduuuh tambah pusing… sudah lah jangan cerita itu lagi. Gimana kerjaannya de? Lancar ya? Hehe…” Aku mengalihkan pembicaraan. Sementara itu wajah Fikria yang imut itu langsung ditekuk olehnya lalu menyimpan telapak tangan kanannya di atas keningnya berucap “Cape deeeehhh” Hahaha… kami tertawa bersama.
Tak jarang Fikria mengirimku sebuah puisi karangannya. Dan puisi itu langsung di terbitkan pada majalah tempat ia bekerja. Ia memang berbakat menjadi seorang pujangga. Beruntungnya aku, sebelum diterbitkan akulah orang pertama yang bisa membaca karyanya dahulu. Aku dianggapnya spesial. Terimakasih de’ lirihku ketika menerima karyanya yang selanjutnya.
Suatu hari. Rasa rinduku pada Amira tak tertahankan lagi. Aku ingin ke Negara nya dan bertemu dengan ia. Hal itu karena ada surat darinya yang mengatakan bahwa ia sakit parah dan membutuhkanku di sisinya. Orang yang pertama kali aku hubungi adalah Fikria. Aku minta sarannya untuk hal ini. Fikria menyarankanku untuk pergi menemui Amira dengan syarat izin dulu pada orangtua. Namun itu tak mungkin karena orangtuaku pasti tidak mengizinkanku.
Aku tetap nekat dan akan pergi menemui Amira barang seminggu saja. Aku minta Fikria menyembunyikan berita kepergianku pada orangtua dan saudara-saudaraku. Aku ditemani Fikria ke bandara. Seperti ketika aku dulu ditemani Amira ketika akan pulang ke Indonesia, Fikria pun menemaniku.
Aku menatap wajah Fikria yang ada di depanku dengan sebuah laptopnya. Ia sedang menulis cerita pendek yang akan dimuat di majalahnya. Walau ia sibuk, ia rela menyempatkan untuk menemaniku di sini karena aku yang minta. Tak ada wajah menyesal menemaniku di sini. Yang aku lihat hanyalah beberapa senyuman yang tersungging di bibirnya yang mungil itu ketika aku memanggil namanya.
“De’…” Aku iseng menyapanya hanya untuk melihat senyumnya
“Iya kak?” Ia mendongakkan wajahnya disertai senyumnya yang khas. Tiba-tiba ada yang menyusup dalam relung hatiku. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya ketika Fikria ada di dekatku.
“Ah ga jadi de’…” Aku tersenyum simpul, sedangkan Fikria melanjutkan ketikannya dengan sedikit jengkel. Aku senang membuatnya kesal. Terkadang lucu. Maklumlah aku tidak punya adik. Fikria adalah adik spesialku. Tak akan kulepas ia dalam kehidupanku.
Pesawat akan berangkat satu jam lagi tapi pengantar tidak boleh masuk ke dalam. Sudah cukup aku menunggu di luar. Saatnya aku siap-siap masuk ke dalam. Aku pamit pada Fikria. Ia menutup laptopnya dan mengantarku hingga ke pintu dalam. Kembali ia melemparkan senyumnya yang khas. Aku bisa tenang dengan senyumnya itu.
Setelah menukar tiket, aku melihat Fikria pulang membelakangiku dan berdiri jauh dari pintu kemudian melambaikan tangannya padaku. Entah kenapa aku melihatnya berjalan sangat lemah tak biasanya aku lihat seperti itu. Ingin aku bertanya padanya tapi aku sudah harus masuk ke ruang tunggu. Akupun membalas lambaiannya.
Aku kemudian menelponnya di ruang tunggu.
“Iya kak? Kenapa?” Terdengar suara Fikria agak parau dan kurang jelas
“Ade ga kenapa-kenapa?” Tanyaku kuatir.
“Ga apa-apa kak…kakak hati-hati ya…”
“Oh gitu syukurlah. Makasih ya de’…”
Entahlah seakan ada yang mengganjal dalam hatiku. Mengapa kali ini terasa berat meninggalkan Fikria di sini? Bukankah tidak ada yang bisa menggantikan posisi Amira dalam hatiku? Lalu mengapa aku merasa kuatir dengan Fikria? Akankah Fikria yang aku rindukan nanti ketika aku bertemu dengan Amira? Mengapa wajah Amira tidak muncul dalam benakku? Mengapa hanya wajah Fikria? Ya Allah aku kembali dalam kebimbangan…
Sementara itu pesawat akan segera berangkat. Terasa berat melangkahkan kakiku dari ruang tunggu ini. Ingin rasanya aku batalkan penerbangan ini. Tapi bukannya aku sudah lama ingin bertemu gadis pujaanku Amira? Bukankah aku akan menjenguknya yang sedang sakit yang membutuhkan diriku? Ya Allah mengapa banyak sekali pertanyaan ini?
Fikria… biasanya kamulah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku walau tak harus dijawab. Kehadiranmulah yang membuatku tenang…
Barangkali satu kursi dalam pesawat itu kosong. Di ruang tunggu ini hanya ada aku duduk termangu. Tak jelas akan kemana. Aku tak bisa memutuskan akan kemana langkah kakiku berjalan. Aku dikejutkan dengan sebuah teguran dari seorang satpam. Bahwa aku sudah duduk lama di sana. Ketika kulihat jam dipergelangan tanganku… Ya Allah… aku sudah berada di ruang ini selama dua jam! Aku tak jadi pergi ke Singapura! Aku memilih diam di bangku ini! Ada apa denganku???
Terdengar suara Hp ku bergetar…
“Assalamualaikum… Ria tahu kakak tidak akan pergi… kembalilah kak… Ria masih menunggu kakak di luar” Klik…telepon diputus! Fikria meneleponku seakan tahu akan keadaanku. Segera aku bergegas keluar. Aku harus bertemu dengan Fikria. Bagaikan tidak pernah bertemu berminggu-minggu dengannya. Aku berlari terus berlari mencari gadis berkerudung biru yang mempunyai senyuman yang bisa meluluhkan hatiku…
Lariku di rem seketika… aku masih melihatnya berdiri di sana seperti dua jam lalu aku melihatnya di sana. Aku merasa bahagia menemukannya di sana. Ia tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumannya. Ingin aku memeluknya tapi tak boleh. Aku lalu sujud syukur di teras bandara.
“Kak… bangunlah…”
“De’… alhamdulillah…” Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku memutuskan untuk tidak kembali ke sana. Aku yakin Amira akan menemukan kebahagiaannya tanpaku. Keikhlasan hati Fikria membuatku mampu memilihnya.
Senja menyambut pertemuan kami setelah berpisah selama dua jam. Burung-burung kembali ke sarangnya setelah seharian mencari makan. Terpaan angin lembut menerpa wajah kami menyambut datangnya angin malam… Dan Fikrialah yang akan menemaniku dalam kehidupanku ini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar