Minggu, 18 Desember 2011

cerita penyejuk jiwa

juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh istirahat yang cukup.
***
Kriiingg… kring…! suara jam weaker mengejutkanku hingga aku terbangun dari tidur yang tak begitu nyaman. Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien-klienku, tak boleh terlambat. Tak lama kemudian, hand phoneku berdering.
“Hallo… dengan Rio, ada apa menghubungi saya pagi-pagi begini?”
“…………”
“ Baik saya segera ke kantor!”
Dalam sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota yang mulai dilanda macet dan berbaur dengan aroma CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat sepagi ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida yang membanjiri Surabaya. Namun aku sudah bersahabat dengan segala keadaan ini, karena mencari uang adalah hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada kenyamanan lahir, telah membuatku puas.
Dulu, waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh nasihatnya agar aku tak meninggalkan shalat. Tapi nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa aku shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan datang ketika aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. Kalau aku begitu, jadilah aku orang yang miskin, yang hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat makan barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari langit seperti hujan. Mustahil. Dan jadi orang miskin itu hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja.
“Assalamualaikum! Selamat pagi, Bos!” sapa seorang karyawan.
“Pagi..” aku menjawab tanpa menoleh. Aku menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh layaknya seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Aku puas dengan semua kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan harta. Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan bahkan tak merasa ada orang yang telah melahirkanku dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan sekarang aku bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku senang dengan hidupku.
***
Ruang kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena aku menginginkan kenyamanan ketika berada di dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin kendaraan yang berlalu hilir mudik di sekitar kantorku. Memang, letak kantorku sangat strategis. Dan aku tak sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman hinggap di bagian tubuhku yang paling dalam. Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan ketaknyamanan tak bertepi. “Jangan lupa sholat Nak!…” sekelebat bayangan wanita 50 tahun-an lewat di ruang otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan bayangan itu.
“Tok..tok..tok!”
Partikel-partikel pada daun pintuku bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang berfrekuensi tinggi dan mengejutkanku.
“Masuk!” jawabku sekenanya.
“Pak Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!”
“Sari kemarin kok izan, izin… Bapak tidak lihat apa kantor kita sedang banyak orderan?! Baru setahun jadi karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!”
“Iya, saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya kembali, saya selesaikan tugas saya.”
“Baiklah! Sepuluh menit!” Aku marah.
Entah apa yang membuatku marah. Mungkin rasa berkuasalah yang selama ini telah mengalahkanku. Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang berhadapan dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu memposisikan diriku sebagai bos. Aku merasa bahwa aku berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka ada di tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan selama ini, jika ada karyawan yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon padaku untuk dikembalikan pekerjaannya.
Tapi kurasakan keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah memarahi Pak Halim, seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan 15.00 meminta izin untuk keluar sejenak. Yang mukanya selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di hadapannya.
Setahuku dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku. Karena itulah, aku tetap mempertahankannya di perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku marah-marah padanya hari ini dan tak jarang pada hari-hari lain?
“Lama sekali orang ini!” Aku membatin sambil menunggu Pak Halim yang sudah hampir setengah jam tak muncul- muncul juga di hadapanku.
Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.
“Maaf, Pak! Tadi saya harus…”
“Ah… Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh duduk di kursi itu lagi!”
Pak Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu berpamitan setelah mengucapkan terima kasih.
***
Sejak kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku sendiri kini yang harus memikirkan nasib perusahaanku. Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu muncul setiap kali aku membutuhkan konsentrasi untuk memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang kuambil tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung tikar. Utang di mana-mana.
“Aghhhhrrrhhh…!” Aku marah pada diriku sendiri. Aku terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih mendampingiku, aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal.
Kustarter BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali ini tak tahu aku akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke kampung halaman, meminta maaf pada ibuku, menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu juga kepada saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi tempat curhatku, kini tak ada lagi di sampingku.
“Nak, bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah ibadah yang pertama kali dihisab.” Tiba-tiba bayangan Ibu muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi pandanganku ke depan.
“Nak! Kembalilah kejalan Tuhan-Mu!” Kali ini keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan.
“Nak! Ingatlah… semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!”
“Tidaakk…!” Klakson dari mobil belakangku membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku menyilaukan pandangan ini, saat bayangan Ibu hilang, yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali, hingga aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus beriringan.
“Ciiitttt! Brakkkk!!”
“Aduhh…” kurasakan nyeri yang tak terperi di bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir dari kedua telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat sangat ini. “Bu,… maafkan aku…!”
“Ini peringatan buatmu, Nak! Kembalilah!” itu adalah kalimat terakhir ibu yang masih dapat kudengar dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya bayangannya.
***
“Di mana aku? Mana Ibu ..?” Samar-samar kulihat wajah yang tak asing itu duduk di sampingku.
“Pak Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!”sembari bertanya-tanya pada diriku sendiri, mulutku terus berkomat-kamit.
Pak Halim hanya memandangiku haru. Air matanya mengalir. Sesekali ia seperti mengucapkan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa. “Astaghfirullohal’azhiim…!!!” ku berteriak mengharapkan ampunan dari Allah. Namun lagi-lagi, aku tak mendengar teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan aku baru sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat mendengar dan mungkin juga tak dapat berbicara. Aku tuli.
Tak ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya jeritan dalam hati yang mampu aku teriakkan. Tubuhku menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam di dinding kamar putih itu menunjukkan pukul dua belas siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi Pak Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu ketika aku sering mengunci rapat-rapat telingaku dari suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini suara itu benar-benar tak dapat lagi kudengar. Selama-lamanya.
sumber : majalah annida
Jul
29
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 29-07-2010
Penulis: Wahyu Amir

Kupu-kupu itu selalu menghinggap di atas nisan tanpa nama itu. Nisan dari kayu lapuk yang tepat di bagian timur makam Bapak. Kupu-kupu yang pernah aku lihat dulu. Agaknya memang tiap aku ziarah ke makam Bapak ia sengaja muncul menemuiku. Mengisyaratkan agar aku mengingat masa lalu.
Raut muka yang berseliweran di depan rumahku bukan tampak biasa. Tak wajar. Tegang. Sekitar delapan sampai lima belasan orang berjaga di jalan. Masing-masing memegang gagang kayu sebesar lengan orang dewasa. Mereka bersiap jika ada serangan tak terduga. Bapak ada disitu. Beberapa jam yang lalu, tetanggaku dilempar batu sebesar batok kelapa tepat di dadanya. Akibatnya ia dilarikan ke rumah sakit, entah bagaimana keadaannya. Waktu itu usiaku amat belia. Aku ingat betul aku masih duduk di tahun terakhir Madrasah Ibtidaiyah, atau kalau kamu tak paham istilah itu kamu bisa menyebutnya Sekolah Dasar.
Begini. Kumulai kisahku dengan sebuah Langgar Atau mungkin orang di tempatmu menyebutnya mushola, surau, atau pondok. Di seberang jalan. Sekitar lima menit berjalan kaki dari rumahku. Tempat itu yang kini tak kujumpai lagi jika kupulang kampung. Tempatku mengaji dulu. Pula tempat pertama kali Bapak mengantarku pada ustadz Zuhdi. Kuingat, Persis di depan rumah ustadz Zuhdi, guru ngaji pertamaku itu langgar yang paling awal berdiri sebelum bertengger langgar-langgar lainnya. Hanya dipisahkan jalan yang membentang panjang di antara langgar dan rumahnya. Tentu tak sesepi tempat-tempat ngaji yang ada sekarang. Anak-anak kampung sebelah banyak juga yang berduyun ngaji disitu.
Tapi sekarang tak mungkin bisa kau saksikan lagi langgar itu berdiri di kampungku. Berderet-deret bangunan baru begitu membuat pangling. Puing pondasinya pun telah berdiri di atasnya sebuah ruko milik turunan orang Cina. Tiap aku berdiri di depan toko milik orang Cina itu samar-samar ingatanku membayang ustadz Zuhdi. Ada dimana beliau sekarang? Jika masih hidup, mungkin kini ia telah bercucu pinak. Namun bila telah tiada dari dunia, maka dimana pusaranya kini?
Rumahnya telah tak lagi terhuni. Sepi. Genting-gentingnya masih utuh di beberapa bagian. Jendelanya tersisa kaca-kaca tajam terkena lemparan batu. Di bagian yang lain retak membentuk alur yang tak beraturan. Di berbagai sudut hampa kamar rumah itu yang bisa ditemui hanya gelap pengap yang memenuhinya. Di bagian muka, dulu ada taman yang lumayan luas dengan bunga-bunga yang berwarna-warni, milik istri ustadz Zuhdi. Sekarang hanya rerumputan galak yang tampak tak asri. Bangunan itu terlihat menyeramkan.
Di seberang jalan di depan rumah itu dulunya langgar itu berdiri. Jelang maghrib, kami akan sudah disitu. Berlomba meletakkan mushaf Qur’an di dampar agar mendapat giliran setoran ngaji paling awal. Menunggu maghrib tiba, halaman rumah ustadz Zuhdi akan terdengar reriangan. Kaki-kaki yang berlarian mengepulkan debu. Ada teriakan dan canda. Mengejari kupu-kupu di antara pohon jambu air dan pohon sawo kecik. Kupu-kupu yang cantik warnanya. Putih, bergurat biru, juga sedikit warna kuning. Jarang kumenemukan selain di halaman rumah itu.
Kupu-kupu  itu menemani sore kami. Seperti pernik-pernik yang berwarna-warni. Kepakan sayap kecilnya bergerak dalam suara hampa. Sekejap ia akan terbang entah kemana. Kemudian kembali lagi. Membawa kupu-kupu yang lain, mungkin anak-anaknya atau keluarganya. Beberapa ada yang berdiam dalam kepompong, menggantung di dahan bunga kana.
Lalu ada yang berlarian menuju tepi jalan.
Teriakan-teriakan konvoi pemuda itu seperti tak menghiraukan terik yang begitu membuat kulit kering keriput. Ribuan orang tumpah ruah di jalanan. Ada begitu banyak motor yang meraung sehingga suara bisingnya begitu lama singgah di gendang telinga. Juga ibu-ibu dan orang-orang yang telah sepuh memenuhi mobil bak terbuka. Berpuluh ribu peluh tak mengeluh kepanasan. Suara-suara gas knalpot diiiringi bunyi klakson. Nyanyian mereka khas sekali. Konvoi itu gaduh. Seperti suara panggilan yang membius warga berkumpul di sisi-sisi jalan. Membentuk pagar manusia.
Menyaksikan ribuan orang berlalu melewati jalan adalah pemandangan yang menarik buatku dan teman-temanku saat itu. Wajar. Sesusiaku menyukai hingar-bingar yang tak biasa kusaksikan tiap hari.  Apalagi pakaian yang mereka kenakan di jalanan. Begitu menarik, ijo royo-royo. Muka-muka pemuda itu coreng-cemoreng hijau juga. Hijaunya hijau muda. Teman-temanku menyebut itu pawai Partai Ijo Muda. Bapak juga ikut partai itu. Kutahu sebab di muka halaman rumahku di sisi jalan tertancap tiang berlambang Partai Ijo Muda.
“Itu partai bapakku!” tunjuk Sapto bangga.
“Bapakku juga!” kubilang.
“Aku juga!” lalu yang lain menyahut.
“Sssst..nanti ustadz Zuhdi dengar,” bilang yang lainnya lagi.
“Iya, Sssstt…” aku melirik Sapto.
Tetanggaku Partai Ijo Muda. Pamanku Partai Ijo Muda. Pak Lik, Bu Lik, Pak dhe Partai Ijo Muda. Hampir seluruh keluargaku pengikut partai ijo muda. Seluruh desa partai ijo muda. Di kampungku cuma Ustadz Zuhdi yang di depan halamannya berkibar bendera partai yang berbeda dari yang dianut orang-orang kampung. Partai Ijo tua, bukan ijo muda. Partai ijo muda bergambar seperti kotak kapur sedangkan partai ijo tua bergambar bulatan bumi.
Tiap saat yang dibicarakan pasti bahasan yang sama. Tidak di pasar, di warung, di emper-emper rumah, bahkan di pengajian rutinan pun. Pasti pembicaraannya tentang pawai, kampanye, konvoi, partai, itu-itu saja. Pedagang berunding dengan pembeli, serius masalah partai. Bapak dan anak musyawarah keluarga, ngurusi partai. Kyai berdalil di depan khalayak juga singgung-menyinggung partai.
Tidak habis pikirnya, partai dipuja bagai juru selamat. Kalau tidak masuk partai itu tidak masuk surga katanya. Entah dalil dari mana itu. Pernah, dulu, kuikut bapak berkonvoi di jalanan. Membawa bendera dan mengenakan kaos hijau muda bergambar lambang seperti kotak kapur.
Bangga rasanya sebab tidak semua anak seusiaku mendapat izin orang tuanya mengikuti pawai sepertiku. Para orang tua mereka itu bukannya tak mau menuruti kehendak anaknya. Bukan pula menolak hingar-bingar dan sorak-sorai keramaian. Tetapi para orang tua khawatir keramaian itu kadang membawa petaka. Maksudku, kerusuhan sering terjadi jika antar partai berpapasan. Mungkin karena adu gengsi. Sok menunjukkan siapa yang terkuat. Sok saling tunjuk calon pemimpinnyalah yang paling kuat. Dan ujung-ujungnya tawuran. Masuk rumah sakit. Masuk penjara. Ironisnya lagi nyawa melayang demi membela seorang pemimpin yang mereka sendiri tak tahu jika terpilih kelak apa masih ingat pengorbanan mereka.
Saat itu aku tak ahu dari mana mulanya, jika Partai Ijo muda bertemu Partai Ijo tua maka dipastikan yang terjadi perseteruan. Aku sendiri tak mengerti, kedua partai itu basisnya islam, sama-sama berasal dari organisasi islam terbesar di Indonesia –seperti yang dulu pernah kudengar dari orang-orang-. Tapi mengapa begitu mudahnya mereka saling memusuhi. Saling memaki. Bahkan berusaha saling membunuh. Bukankah sesama muslim itu saudara? Bukankah pula sesama muslim itu mesti saling tolong-menolong?
Agaknya itu tak berlaku di tempatku.
Fanatisme yang berlebihan telah meracuni pemikiran masyarakatku. Otak mereka telah dicuci. Jika tidak memilih yang mereka pilih maka jangan harap dianggap manusia di masyarakatku.  Mereka saling cegat-mencegat. Jegal-menjegal adalah hal yang wajar. Kata-kata makian jadi umbaran yang halal bagi juru kampanye yang mengaku ulama itu. Waktu itu pernah kudengar dari kampanye -yang mereka sebut itu pengajian sebab yang berkampanye itu para kyai- , ulama-ulama juru kampanye itu memaki ulama lain yang tak sealiran dengannya, yang lebih ironis lagi yang diumpatnya waktu kampanye itu malah kelak jadi kepala Negara mereka.
Suatu pagi, seperti hari sebelumnya. Bola raksasa yang mengawang di angkasa mengawali putarannya. Tak pernah terpikirkan akan berapa lama lagi bola raksasa itu akan kehabisan energinya. Bahkan belum terpikirkan jika suatu pagi matahari akan lenyap dan berhenti bersinar sedangkan akal manusia belum mampu menjangkau untuk mencari energi yang bisa menggantikan matahari. Matahari yang sinarnya memancar ke banyak bagian yang berbeda. Matahari yang digunakan untuk patokan waktu di seluruh dunia. Mereka gunakan pula untuk menamai musim yang terjadi. Matahari yang dibutuhkan ibu jika akan menjemur pakaianku dan pakaian bapak. Matahari yang dicari para petani untuk mengeringkan gabah-gabahnya. Dan pula matahari yang digunakan nelayan untuk mengeringkan ikan asinnya.
Jalanan di hari itu tak semeriah hari lalu. Kabarnya hari itu akan ada kampanye Partai Ijo Tua. Tratak telah berdiri. Kursi-kursi plastik di tata berjajar rapi. Podium telah berdiri gagah. Banser dan pasukan yang terdiri dari orang-orang tegap berjaga di situ. Suasana tampak akan ada yang hajatan di tempat itu.
“Hancurkan kemusyrikan….Hancurkan syaiton..!” Teriakan itu memecah lengang. Disusul konvoi lelaki bercadar putih. Hanya mata yang saling memandang. Mata tanpa nama itu berkerumun membawa senjata yang siap untuk menyabet siapa saja yang akan menghalangi niatnya.
“Kalian terkutuk! Kalian bukan islam!” di bagian lain dari konvoi itu meneriaki orang-orang yang berada di pengajian itu.
“Kalian lebih terkutuk lagi!” jawab seorang dari pengajian itu.
Seorang dari kelompok pengajian itu menunjukkan nyalinya. Sendirian ia melangkah maju. Setelah menengadahkan tangan, ia membuat pagar ghaib. Kekuatan yang tak terlihat itu mampu mementalkan tiap barisan konvoi yang mencoba mendekati laki-laki tersebut. Salah satu pemimpin konvoi bercadar itu pun seperti tersulut amarahnya. Ia turun, entah melakukan ritual seolah keduanya saling berperang ghaib. Sesekali salah satu dari keduanya ada yang terpental. Tak beberapa lama ia mengomandoi naka buahnya.
“Maju! Jangan takut, kita di jalan yang benar!”
“Allahu Akbar!”
Dari belakang kerumunan terlempar bom molotof yang menjatuhi sebuah motor. Api pun langsung menyala-nyala memakan motor itu. Melahap bagian demi bagian yang terlapisi minyak tanah. Ratusan orang bergerak merangsek menenteng apa saja yang bisa digunakan untuk melukai. Bahkan bila perlu untuk membunuh.
Bagai drama perang kolosal masa lalu, tak ada mulut yang berbicara. Sabetan pedang dan celuritlah yang mewakili cakap mereka. Sahut-sahutan asma Allah seakan tak ada maknanya. Tak ada yang mampu berpikir jernih di situasi itu. Satu sama lain saling mengklaim yang benar. Saling mengaku merekalah sebenar-benarnya muslim. Partai telah membutakan mata mereka. Mereka pun tak peduli lagi jika yang mereka hadapi adalah saudara kandungnya. Mereka putus begitu saja ukhuwah yang terjalin ribuan tahun lalu.
Asap pekat membumbung ke angkasa. Belasan kendaraan menjadi korban keberingasan. Dibakar dan dimasukkan ke dalam sumur. Puluhan orang terluka. Langgar dan rumah pun tak luput dari amarah. Mereka lempari dengan batu. Mereka robohkan atap-atapnya. Mereka jarahi apa yang bisa mereka anggap sebagai barang berharga.
Malamnya, aku tak bisa lagi mengaji lagi ke Langgar. Langgar kami telah rata. Bapak melarangku pergi kemana- mana. Ibu-ibu dan anak-anak tak diperkenankan di luar rumah. Para pemuda dan orang tualah yang berjaga. Sayup-sayup dari dalam rumah kudengar mereka bercengkerama. Kudengar dengan jelas mereka menyebut nama Ustad Zuhdi. Guru ngajiku itu menghilang sejak peristiwa yang menghanguskan langgarnya. Sebagian yakin jika Ustad Zuhdi telah tewas terbantai. Lainnya berargumen, ustad Zuhdi menghilang bersama istrinya. Satu sama lain saling ngotot.
Setelah kejadian itu memang tak lagi ada yang tahu dimana Ustad Zuhdi. Banyak korban berjatuhan dari peristiwa itu. Dari yang terluka hingga hilang nyawanya. Kampung kami sedang berkabung. Berkabung karena matinya akal sehat, juga karena matinya ajaran ukhuwah yang selalu diajarkan Rasulullah. Kami menyesal pikiran-pikiran jahiliyyah kembali hadir di zaman se modern ini.
Sekitar lima jenazah menjadi korban peristiwa itu. Satu dari partai Ijo Muda, tiga dari partai Ijo Tua. Satu lagi korban tak dikenal identitasnya. Jenazah itu telah tak berupa manusia lagi. Sekujur tubuhnya hangus terbakar hingga tak terkenali. Jenazah itu lah yang mereka yakini jenazah Ustad Zuhdi. Guru ngajiku. Mayat-mayat itu dimakamkan dengan nisan tanpa nama. Tak ada yang tahu benar apakah itu Ustad Zuhdi. Sampai saat ini pun.
Tiap aku pulang kampung dan ziarah ke makam Bapak, kupu-kupu itu selalu hadir di penglihatanku. Ada ikatan batin yang sulit diungkap antara aku dan kupu-kupu itu. Kupu-kupu itu seperti merekam sebuah ingatan. Dalam senja yang ramah angin terkadang luruh seakan meniupkan kenangan. Sebuah andai yang ingin kembali terjadi. Tak ada hal lain yang kukenang jika tengah berdiri menatap kepakan lentik dari warna yang begitu membuat bayangan masa lalu muncul kembali. Tak tahu dari mana munculnya. Pernah kucoba menelusuri asalnya. Tapi niatanku begitu saja pupus saat bertemu kenyataan kesehariaanku.
Jepara, Juni 2010, untuk mengenang peristiwa 1999 di kotaku
sumber : majalah annida
Jul
29
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 29-07-2010
Penulis: Ana Atari
Degup jantung Arjuna mulai naik turun, keringat dingin pun mulai membasahi kulit putihnya. Mulutnya bagai terkunci, pikirannya tiba-tiba saja hilang. Sosok cinta yang ditatapnya dengan tidak sengaja itu, langsung menancap di dasar isi hatinya, padahal sudah sekuat tenaga dia menahan untuk tidak melihatnya. Tapi apalah daya, di saat dia mendongakkan kepalanya perlahan. Cinta menatapnya dengan pekat, dia memperhatikan dengan serius, tanpa bicara.
“Arjuna…? Kamu sedang sakit?” Miss Stefinaky yang saat itu menjadi moderator tiba-tiba menepuk bahunya. Tak lama terdengar suara riuh mahasiswa Universitas Tokyog, yang saat itu sedang mengikuti lomba Ikebana—merangkai bunga yang diadakan setahun sekali untuk menyambut Hinami—perayaan musim semi di Jepang. Mereka tertawa dan geli melihat kecanggungan teman terpintar mereka. Arjuna makin gelagapan, cinta melihatnya, kini dia tertawa.
Oh Tuhan…cantik sekali. Arjuna melupakan bunga yang sedang dirangkainya. Pagi itu tiba-tiba saja menjadi hal yang membosankan dan melelahkan bagi Arjuna Dwitama, cowok impian semua mahasiswi di Universitas Tokyo, darah Indonesia itu sering kali menjadi bahan obrolan mahasiswi-mahasiswi karena ketampanan dan keramahan dia. Apalagi Arjuna adalah salah satu nominasi terbaik yang karya Ikebananya sering mengilhami mahasiswa untuk mencintai alam dan bunga-bunga. Dan kini ia sedang dilanda virus merah jambu kepada Cinta yang saat itu sedang duduk tepat di depannya.
“Maaf, Miss…anuu…saya….eeh…”
”Kebelet nih, Jun!” Tawa riuh kembali menghiasi seisi ruangan, membuat Arjuna merah padam. Tapi, bukan itu.. sungguh bukan itu, dia malu.. bukan karena ditertawai oleh teman-temannya. Sekali lagi, bukan itu—Cinta sedang tersenyum padanya. Oh God! Biarkan waktu berhenti—benaknya memohon.
“Aku bingung, Tamaki!” ucap Arjuna sedikit menerawang ke arah langit-langit kantin yang mulai terlihat bocor akan tetesan air hujan akhir-akhir ini.
Tamaki Ikazura cuek sambil manggut-manggut, mulutnya penuh dengan oden hangat—masakan lobak, mie rebus, dengan campuran telur rebus, bekal makanannya siang ini, katanya sih—pacarnya khusus membuatkan untuknya untuk menghangatkan tenggorokannya—yang katanya sedang terlanda flu.
“Apa ini yang namanya cinta?” lanjutnya lagi.
Tamaki menyeruput kopi hangat tanpa aba-aba. Kembali dia menyantap oden-nya dengan buas. Sekarang tanpa manggut-manggut, kini dia geleng-geleng. Mengangkat tangannya serta pundaknya sedikit. Arjuna memperhatikan mie yang terurai dalam oden Tamaki yang sedang akan dimasukkan ke dalam mulut sobat satu asramanya ini. Mie panjang seperti rasa penasaranku pada cinta. Rasa inginku ingin memilikinya. Yah, seperti mie itu. Tapi, sepanjang itu pula rasa maluku untuk bilang padanya— oh.. Tamaki bagaimana ini?—benak Arjuna melompat-lompat, cemas.
Tamaki bukannya menjawab, malah serius bercerita tentang bekal makan siangnya yang tak mengugah hati Arjuna untuk makan bersamanya. Arjuna menghela napas panjang.
Dia baru tahu beginilah kalau sedang jatuh cinta. Padahal jujur saja, dia tidak percaya dengan cinta beserta embel-embelnya. Tapi gara-gara waktu itu, waktu dia mencoba menyendiri dengan mengikuti mata kuliah dari jurusan lain tanpa disibukkan dengan pekerjaan mata kuliah yang menumpuk, ataupun proposal yang harus naik “banding” dengan direktur tersayang, dia tak sengaja menangkap sosok alami Cinta yang menyadarkannya dari puluhan tahun, puasa naksir cewek. Padahal Cinta sudah lama di kampusnya. Hanya saja dia baru sadar kalau ternyata Cinta itu ada.
“Maaf, ini bangku saya…” Sosok gempal itu menghampiri Arjuna yang sedang lesu duduk di bangku belakang. Arjuna memperhatikan sejenak. Suaranya lembut namun tegas—seorang gadis, dengan jilbab putih berbadan subur dihiasi dengan wajah oval mirip sekali dengan bola kesukaan Andi, adik kesayangan Arjuna yang kini berada di Kalimantan.
”Maaf, memangnya di sini ada nama kamu, Dut?” ucap Arjuna cuek. Tak biasa memang ia bersikap angkuh. Hanya saja waktu itu dia sedang kehilangan sifat ramahnya karena tersandung dengan mood yang tumpang tindih akibat urusan proposal yang hampir di-drop out dengan bagian administrasi staf kampus. Langsung saja ia mengejek tanpa alasan.
Seakan tersinggung, dadis yang ada didepannya itu mendelik, dengan marah.
”Kalau tidak mau member ya jangan menghina!” Ia pun beranjak dari tempat duduk Arjuna, kemudian keluar dengan menenteng sebuah kursi. Suasana ruang kuliah Jurusan Lecture Art Japan itu tiba-tiba riuh dengan tawa seisi ruangan, ketika gadis berbadan subur tadi masuk dengan menenteng kursi.
Arjuna ternganga.
”Oh.. Ma…af…” suaranya lirih, tersedak di tenggorokan. Baru kali ini dia tidak sengaja menghina seorang wanita di depan mahasiswa-mahasiswa—gawatnya lagi, dia baru sadar dia tidak lagi sendirian di ruangan itu karena jurusannya sudah bubar hampir satu jam yang lalu.
Dia tidak sadar kalau Cinta itu adalah gadis yang berbadan subur yang barusan ia hina. Peristiwa itu terjadi saat Arjuna mencoba meminta maaf dengan gadis itu yang ternyata namanya adalah Yumiko Shafa. Namun, Arjuna senang memanggilnya Cinta.
”Saya memang sering dihina. Saya maklum,” ucap Yumi—gadis imut—berjilbab lebar dengan lesung pipit di pipinya yang oval apel itu.
”Bukan itu maksud aku. Aku tuh…”
”Anda tidak pantas berteman dengan saya!” kata-kata terakhir Yumi ini yang menepuk otaknya dengan keras. Hatinya pedih.
Tamaki cekikikan mendengar cerita Arjuna dengan raut wajah yang sebentar-bentar berubah jadi galak, kaget, tersipu-sipu, dan sedih.
”Kalau aku jadi kamu, Jun, cuekin ajalah, seperti nggak ada yang lain saja. Bukankah cewek-cewek di sini cakep semua, kenapa kamu malah kepincut sama cewek model seperti itu?”
”Namanya Cinta, Tamaki!”
”Ho-oh.. Terus apa istimewanya?”
“Ya, dia istimewa. Dia itu beda, karena….”
Ucapan Arjuna terhenti. Dia mulai mengerlingkan matanya, aneh. Oh, God! Dia baru sadar kalau selama ini dia menyukai Cinta—tanpa alasan.
”Karena…?” Mata dan mulut Tamaki pun mengikuti gerakan mulut sahabatnya tersebut. Arjuna tak berbicara sepatah kata pun. Entahlah. Kata-kata itu hanya sampai di ujung tenggorokannya. Tamaki menyeruput kopi hangatnya lagi, sambil diaduk-aduknya. Kemudian cengegesan tiba-tiba, dijulurkan lidahnya dengan sok centil. ”Karena dia endut ya? Ha..ha..ha!” celetukan Tamaki langsung dibalas dengan jitakan maut Arjuna.
”Sembarangan!”
”Orang Indo memang unik!” cengir Tamaki menyindir Arjuna. Ia hanya mencibir dengan memburu jitakan ke arah kepala Tamaki.
***
Dari obrolan gila Tamaki, Arjuna mulai memikirkan alasan apa dia menyukai Cinta. Yumiko—aku sering lupa kalau itu namanya—aku lebih suka dengan panggilan Cinta untuknya. Seorang gadis berketurunan dua negara—dengan Ayah keturunan Arab dan ibunya keturunan Jepang— berwajah oval, berlesung pipit dua dengan mata birunya yang saat berbicara seperti memberi kilatan pada orang yang melihatnya. Cinta itu memiliki wajah yang indah, senyumnya jarang diumbarnya, tapi sekali tersenyum seperti bidadari. Dia unik. Belum lagi, kata-katanya yang singkat, tapi jelas sekali. Arjuna mulai ingat, pernah suatu hari dia berpapasan dengan Cinta saat di dalam lab komputer kampus.
”Hai, lagi sibuk ya?” Arjuna menggaruk-garuk kepalanya—menyembunyikan raut wajahnya yang memerah.
”Ya.” Cinta tak berkedip sedikit pun dari layar komputernya.
”Oh, lagi ngapain?” Kini Arjuna mulai memberanikan diri menatap Cinta di sampingnya—walau sedikit-sedikt.
”Ngetik!”
”Buat apaan?”
”Tugas.”
”Oh…siapa pengajarnya?”
“Prof. Tatsuro.”
”Ohh…Kamu apa kabar nih?”
”Baik.”
”Masih marah ya, soal yang waktu itu?”
”Enggak.”
”Serius nih?, aku minta maaf deh.”
”Iya.”
Mati kutu deh! Pelit banget ngomongnya, Non…
Mengingat itu Arjuna jadi sering tertawa sendiri. Tapi begitulah Cinta—dia memang beda. Dan Arjuna tidak usah repot-repot mencari alasan mengapa dia mencintai Cinta. Lagian, Arjuna sekarang mulai mencari-cari informasi mengenai cintanya. Bahasa yang terlantun dari mulut Cinta kadang-kadang beraksen Inggris yang mempunyai struktur bahasa halus dan mudah dimengerti, nada bicaranya yang tegas, membedakan ia dengan perempuan-perempuan Jepang yang sering mendekati Arjuna ataupun para perempuan Indonesia.
Usut-usut punya usut. Si Cinta ini adalah perwakilan keputrian di remaja masjid di Universitas Tokyo. Arjuna mulai berpikir, jika dia ingin mendapatkan hati Cinta maka dia harus mengubah penampilannya menjadi seorang pemuda masjid; yang memakai celana gantung di atas mata kaki, dan bahasanya pun mulai diperbaikinya dan selalumemakai peci ke mana pun ia pergi. Dan akhirnya, ia pun merelakan celana kesayangannya dipotong sepuluh centi, serta rela-relain berburu peci yang biasa dipakai pemuda mansjid, kecil, bulat dan bahan dasarnya dari kain di pasar-pasar tradisional. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebiasaan Arjuna yang sangat anti dengan pasar tradisional, apalagi jalanannya becek, penuh dengan orang yang berjualan dengan tidak rapi, dan tak jarang berdesak-desakkan hanya untuk mendapatkan barang-barang yang murah dan bagus. Namun, demi cinta dia lakukan semuanya.
”Ya ampun, Jun.. kamu salah makan apa? Kamu kesurupan hantu ya, Jun?” Itulah ekspresi pertama Tamaki—yang tidak percaya, sahabat Indonesia kerennya itu berubah.
Arjuna cuek saja, berapa orangpun menertawakan penampilannya yang baru. Dia tidak peduli. Yang pasti, dengan seperti ini, Cinta akan mulai menyukainya. Walaupun, berubah seperti ini—Arjuna banyak berkorban—banyak organisasi yang terbengkalai—karena dia terlalu aktif di masjid kampusnya.
Tiga bulan sudah dia memasuki dunia “lain” dari kehidupannya. Dia mulai tahu, kalau Cinta tidak menyukai pacaran.
”Wanita itu suka sama lelaki yang bertanggung jawab dengan amanahnya, serta taat beribadah…” ceramah Senior Abdul Damyoji—ketua pemuda masjid di kampusnya itu—mulai menyesakkan hati Arjuna saat mentoring pengurus berlangsung. Soal bertanggung jawab sih, dia selalu tepat waktu hadir di masjid, organisasi yang lain sudah banyak ditinggalkannya agar tidak mengganggu rutinitasnya di keorganisasian masjid. Namun, kalau taat beribadah—hanya di sini ini saja dia sering shalat, mengaji—tapi kalau di rumah jarang— itu juga kalau ada mood. Oke deh kalau cinta memang menginginkan calon suami yang shaleh dan rajin beribadah, aku lakukan, pikir Arjuna.
”Apa? Menikah?” Mata Tamaki melotot, oden kesayangannya hanya menjadi pajangan setelah ia mendengar ucapan dari Arjuna.
Arjuna mengangguk, senang.
”Sama siapa…?”
”Cinta.”
”Ya ampun! Sama cinta yang ndut itu?”
”Hei! Dia calon istriku, Tamaki!”
”Baru juga calon! Kamu kok yakin banget. Memangnya kalian sudah jadian?”
Arjuna menggeleng, tapi raut wajahnya belum berubah—masih tersenyum.
”Gila!”
”Emang!”
Keputusan Arjuna sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat. Walaupun dia jarang berbicara dengan cinta, dia yakin Cinta seringkali juga melirik-lirik pandang ke arahnya. Apalagi, saat ada mentoring semua pengurus. Pertemuan mata mereka seringkali terjadi. Layaknya seorang pejuang di dalam salah satu acara reality show di televisi, Arjuna berusaha mencari tahu kesukaan Cinta. Sampai ke akar-akarnya. Karena cinta bukan dijadikannya seorang pacar, namun istri. Cinta yang satu ini benar-benar berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah ia kenal.
Mulailah ia hunting-hunting foto Cinta di kesekretariatan masjid. Setelah dapat, Arjuna langsung menempel foto itu di gabus-gabus yang telah ditempel dengan hiasan-hiasan love, perjalanan cintanya, pengalaman unik saat ia memendam rindu kepada cintapun ikut nongkrong yang ditempel di gabus-gabus tersebut.
Arjuna pun memberi tahu rencana ini kepada Tamaki. Awalnya, Tamaki sempat jantungan saat mendengar rencana yang akan dijalankan. Namun, karena sudah terbiasa dengan berita-berita “aneh” dari Arjuna, dia akhirnya menurut saja, tanpa komentar—pikir Tamaki—dari pada dia ikutan gila—menentang kemauan Arjuna.
Setelah persiapan telah selesai, entah kenapa degup jantung Arjuna berdetak kencang, seperti ingin keluar saja dari lapisan kulit. Tangannya sedang memegang rangkaian kelopak mawar dengan sakura—karyanya sendiri, disaat ia memikirkan Cinta—mulutnya komat-kamit, seakan menghapal kata-kata yang sedari tadi telah dipersiapkannya. Belum lagi, keringat dingin yang merayapi seluruh badannya. Ini selalu menjadi kebiasaannya—jika akan berdekatan dengan Cinta. Kalau bukan, karena ia teramat ingin memiliki cinta. Mungkin semua ini tidak akan dilakukannya—pikirnya, pasrah. Dan kini tiba saatnya, saat ia berkata jujur pada cinta.
”Kata temen-temen, Anda mencari saya?” suaranya lembut namun tegas kembali terucap. Bagai sebuah petir yang menyambar hati Arjuna— tak karuan.
”Oo.. anu.. iya,” jawab Arjuna pelan.
”Ada apa?”
”Ini buat kamu…” Arjuna mengulurkan rangkaian mawar dan sakura yang tadi dipegangnya kepada Cinta.
”Ini untuk apa?” Cinta menerima, segan.
Arjuna menghela napas, dalam. Kemudian melihat sekeliling. Terlihat teman-temannya yang membawa gabus yang tadi telah mereka hias. Arjuna meniti satu per satu tulisan yang ada. Sampai pada gabus yang dipegang oleh Tamaki, sahabatnya itu memegang gabus yang ”spesial” bertuliskan ”May you married me?” Jantung Arjuna makin kencang berdetak, saat melihat wajah cengegesan Tamaki, berubah menjadi pucat. Apa karena dia gugup juga?
”Tolong lihat yang dibawa oleh teman-temanku ini. Ini semua untuk kamu.”
”Sudah, terus?” Cinta mengernyitkan dahinya.
Arjuna yang tadi gugup, tiba-tiba merasa gemas. Masih saja ia keluarkan suara pelitnya dan kata-katanya yang super pendek, singkat dan padat itu—memangnya ngirim telegram—benak Arjuna berguman. Ingin ia cubit pipinya yang manis itu, melihat wajahnya ia berbenak mengoyangkan isi hatinya.
”Aku suka kamu,” ucap Arjuna kemudian dengan lantang.
Cinta heran, namun tak lama dia tersenyum tipis.
”Jadi?”
Arjuna tambah gemas.
”Kamu mau jadi pacarku?”
”Maaf…”
Kini, jawaban Cinta—membuat Arjuna riang. Dia sudah tahu jawabannya—dia pasti menolak kalau dijadikan pacar, namun jika ia ulangi lagi pertanyaannya—ia yakin Cinta tak akan berkutik lagi.
”Eeh.. maksudku, kamu mau jadi istriku?” Kata-kata Arjuna membuat Riuh teriakan mahasiswa-mahasiswa Universitas Tokyo yang sedari tadi sedang mengamati mereka. Ada rasa cemburu dari Mahasiswi-mahasiswi itu, ada siulan memberi semangat, ada yang berteriak histeris tidak percaya melihat apa yang diungkapkan pujaan mereka, orang Indo tampan terpencut hanya dengan seorang Yumiko Shafa, yang sama sekali tak ada sempurnanya—pikir mereka.
Cinta terdiam, sepertinya dia kaget dengan ucapan dari Arjuna.
”Sukron atas perhatiannya…” sahutnya lembut.
Arjuna menunduk, menyiapkan hatinya. Saat Cinta mengiyakan permohonannya. Mungkin dia akan berteriak sekuat-kuatnya agar seluruh dunia tahu, dia diterima oleh cinta. Karena sudah rahasia umum—seorang wanita seperti cinta sering disebut dengan akhwat— jika dilamar—tidak akan berani menolak—apalagi calonnya rajin nongkrong di masjid, Nehi mohabaten deh buat ditolak. Dan itu akan menjadi suatu kenyataan pada saat ini. Akhirnya pengorbanan lahir dan bathin seorang Arjuna tidak akan sia-sia. Setelah ini dia akan ber-Hinami bersama gadis ini di bawah dedaunan sakura yang indah dan sejuk menatapnya. Bayangan Arjuna sedikit lagi akan berbunga-bunga.
Yumiko mengernyit perlahan, melihat ekspresi Arjuna yang berbinar-binar.
”Tapi saya tetap tidak bisa menerima lamaran Anda…”
Arjuna keget bukan main, dia menonggak dengan cepat. Tamaki saja tidak percaya—gadis seperti Yuniko itu menolak Arjuna yang sering dijadikan rebutan cewek-cewek di kampus. Bukannya menikah adalah satu-satunya cara untuk mendekati Cinta.
”Loh, kok bisa? Bukankah kamu memang gak suka pacaran? Dan kamu pengennya langsung menikah khan? Apa karena kamu masih kuliah, jadi kamu menolak menikah?”
Cinta—Yumiko menggeleng pelan, dibarengi dengan senyuman manisnya. Ini senyuman kesukaan dari Arjuna—cantik sekali.
”Bukan, saya menghargai semua usaha-usaha Anda. Selain saya belum begitu mengenal Anda…”
”Oh.. kalau itu, tenang saja—aku bisa bikin kamu cepat kenal sama aku. Aku orang baik-baik kok, orang Indonesia yang ramah…penyuka bunga, lain kali aku pasti akan tiap hari merangkaikan bunga untukmu.” Arjuna mengedipkan matanya, centil. Cinta manyun, aneh.
”Iya, tapi saya tidak berniat untuk menikah lagi, jadi maafkan saya…”
”Hah? Maksudnya?” Mulut Arjuna tergangga. Tamaki dan mahasiswa yang lain pun tercekat tidak percaya. Menikah lagi?
”Afwan, saya sudah ada yang punya, karena saya sudah menikah.”
”Apaa??!!” Serentak semua mahasiswa berucap.
”Sudah menikah? Sama si…apa?” tanya Arjuna, kelu—Ia pikir kenapa pertama kali Cinta berbicara dengan panjang dan tidak pelit kata-kata akan membahagiakan tapi nyatanya malah menyakitkan hati. Ingin rasanya ia menangis di situ. Tapi jelas saja ia tidak melakukannya karena seorang Arjuna tidak boleh menangis dan tidak boleh kalah. Duh, tapi tetap saja, aku terlihat bodoh sekali—pikir Arjuna, merana.
Cinta mengangguk, ”Senior Abdul Damyoji adalah suami saya.”
Apaaa!!!
Wajah Arjuna merah padam. Senior Damyoji? Oh God! Aku benar-benar kalah total—pikirnya serentak. Kini pengorbanannya seakan sia-sia. Menjadi saleh, rajin beribadah, selalu memakai peci, berkorban waktu menyusuri pasar-pasar tradisional yang becek, bau, serta merelakan berdesak-desakkan hanya untuk mencari peci-peci yang biasa dipakai oleh pemuda-pemuda masjid. Belum lagi usaha Arjuna yang merelakan memotong celana kesayangannya di atas mata kaki— hanya karena ingin dekat dengan Yumiko.
Mata Arjuna perih. Kepalanya mulai terasa berat—kali ini malunya menusuk hulu hatinya. Hinami—berjalan menyusuri taman sakura di musim semi ini kian memudar. Air bening mulai menggenangi kelopak matanya.
11 April 2010
*Kadang sebuah pengakuan tak diperlukan for my rain dalam ”satu kata”
sumber : majalah annida
Mei
01
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 01-05-2010
cerpen-jenggotPenulis: Deddy Sussantho
Lumpur di lorong-lorong Pasar Cempaka sudah mengering sejak beberapa jam lalu. Siang ini aktifitasnya sudah tidak seramai pagi tadi. Namun bau amis, busuk, kecut, harum, dan segala macam bau masih dapat dicium dengan jelas. Lalat-lalat pun masih mencari nafkahnya di antara sumber bau.
Beberapa meter dari situ, terdapat seorang pemuda yang tengah sibuk memperhatikan sekitarnya. Penampilannya persis mata-mata. Kaca mata hitam, topi hitam, dan jaket hitam. Hampir semuanya hitam, kecuali gigi, kulit, dan celana abu-abu yang belum sempat ia tanggalkan sepulang sekolah. Ia tidak ingin keberadaannya di pasar itu diketahui oleh orang lain, apalagi teman-teman sekolahnya. Langkahnya tampak terburu menuju kios bumbu-bumbu masak.
“Bu, beli kemiri seperempat kilo!” ujar pemuda itu seraya memberi uang lima ribuan kepada si penjual. Proses transaksi tak berlangsung lama, langkahnya kembali terburu meninggalkan kios.
***
“Assalamualaikum!” teriak Budi yang disusul dengan hentakan pintu yang dibanting.
“Waalaikumussalam. Bud, makan dulu,” ujar ibunya. Namun tak dihiraukannya. Dengan cepat Budi sudah berada di lantai dua, menuju kamarnya berada.
“Inilah saatnya melakukan ritual itu!” Budi tampak bersemangat. Segala atribut dan perlengkapan “ritual” pun telah siap.
“Hm… tunggu dulu…” Budi ingat sesuatu.
Ckleck!
Kamarnya ia kunci, khawatir kalau ibunya tiba-tiba masuk kamar sewaktu-waktu.
Kemiri dibakar. Tunggu sebentar. Diperes minyaknya. Terus minyaknya dioleskan di tempat yang diinginkan.
Budi mengikuti semua catatan intruksi dari Ujang, teman baiknya yang telah berhasil menumbuhkan jenggot dengan eksperimen minyak kemiri.
Sebelum mengoleskan minyak ke janggutnya, terlebih dahulu otaknya berkhayal tentang wajahnya yang ditumbuhi jenggot. Otaknya memilih-milih model jenggot yang sekiranya pas dengan mukanya yang lonjong. Rhoma Irama, Onci Ungu, Surya Saputra, dan sejumlah artis berjenggot pun menjadi referensi.
Dengan tangan gemetar, entah karena tidak sabar atau grogi, perlahan ia mulai mengoleskan minyak kemiri ke janggutnya yang plontos polos. Tak lupa lafadz doa terucap khidmat dari mulutnya, berharap jenggot segera tumbuh.
***
Sudah lama sekali Budi ingin memiliki jenggot. Tapi sampai sekarang belum juga janggutnya yang mulus itu ditumbuhi jenggot.
Sebenarnya ia bukan orang yang kekurangan hormon penumbuh bulu. Terbukti dari lebatnya bulu kaki, kumis, dan segala tempat yang ada bulunya. Namun entah kenapa hanya jenggot yang belum ia punya. Terkadang ia sempat kesal ketika temannya ada yang mempertanyakan perihal jenggotnya.
“Bud, jenggot lu ke mana?”
“Hm…setiap hari gw cukur terus, habis gw gak suka jenggot sih,” jawab Budi seadanya. Meski berbohong, dalam hatinya ia ingiiin sekali punya jenggot. Ia kesal karena hanya dia yang belum punya jenggot di antara teman-temannya. Padahal kini ia sudah kelas 3 SMA!
Banyak alasan kenapa Budi ingin sekali punya jenggot. Di antaranya adalah melengkapi kejantanannya yang kurang, menutupi bekas lukanya yang ada di dagu, dan buat jadi pelengkap kebiasaannya mengelus dagu saat berpikir. Gak keren rasanya kalau ngelus dagu tapi gak ada jenggotnya. Namun di balik itu semua, alasan yang paling kuat adalah karena ia sempat ditolak sama adik kelas yang sudah lama ia incar, Lola namanya. Ia ditolak dengan alasan si doi gak suka kumis. Katanya kumis sudah gak jaman. Si doi lebih suka cowok yang punya jenggot. Lebih keren katanya.
“Jangan pernah datangi aku jika kau tidak punya jenggot!” ujar Lola seperti dialog sinetron di akhir proses penolakan.
Selama ini Budi percaya bahwa kumis adalah sumber kejantanan. Karena Bapaknya menaklukan Ibunya lewat model kumis yang sedang populer saat itu. Dengan kata lain, tanpa kumis mungkin Budi tidak akan pernah ada di dunia ini. Namun Budi segera sadar, kejayaan kumis telah hancur seiring hancur hatinya karena ditolak Lola. Lola suka jenggot. Titik. Gak pake kumis.
Satu minggu… dua minggu… dan akhirnya jadilah 3 bulan. Budi mengahampiri Ujang dengan geram. Ia protes. Pasalnya ia sudah mengoleskan minyak kemiri 3 kali sehari setiap sehabis makan, tapi jenggot belum juga hadir di jangutnya hingga sekarang.
“Jang, lu bohong nih! Mana khasiyat kemiri yang lu janjikan? Buktinya sampe sekarang gw belum juga ada jenggot!” protes budi setengah berbisik kepada Ujang di kantin sekolah. Ia tak ingin teman-temannya yang lain tahu kalau ia sedang berusaha menumbuhkan jenggot.
“Sabar donk Bud. Sruuup… Baru juga 3 bulan. Nyamm nyamm… Gw aja dulu ampe setahun! Glekh…” jawab Ujang sambil mengunyah mie goreng pesanannya.
“Gak bisa, Jang. Mana bisa gw nunggu setahun. Nanti keburu kita lulus. Kalau kita lulus kesempatan gw buat ketemu Lola kan jadi susah.”
“Ya kan belum tentu lu lulus, Bud.”
Satu jitakan mendarat di kepala Ujang.
“Serius donk Jang!”
“Hehe… iya iya. Duh, gitu aja marah,” kata Ujang sambil tangan kirinya ngusap-ngusap kepala yang habis dijitak Budi. Tangan kanannya tampak siap memasukkan mie goreng ke dalam mulutnya lagi.
“Lu punya solusi lain gak?” tanya Budi.
Ujang hanya menggeleng. Mulutnya penuh dengan mie goreng. Tak lama kerongkongannya bergerak. Glegh!
“Emang kenapa sih lu demen amat sama Lola? Ampe lu bela-bela numbuhin jenggot gitu.”
“Wah, cinta gw buat Lola gak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Jang! Itu cewek imut banget! Senyumnya bagai sabit bulan di tengah malam. Alisnya bak semut beriring. Rambutnya halus sehalus bulu domba…”
“Matanya kaya bola pingpong gak?”
“Hem, hampir.”
“Hidungnya?”
“Licin dan mancung kaya perosotan taman.”
“Kupingnya?”
“Bodo ah!”
Makin hari Budi jadi lebih rajin. Rajin ke warnet, ke perpus, dan berdoa. Tapi bukan rajin belajar biar pinter, melainkan rajin cari tahu bagimana menumbuhkan jenggot. Tak lupa, ritual minyak kemiri tak ia tinggalkan.
Cintanya buat si Lola rupanya sudah sampai ke ubun-ubun. Setiap ada cewek yang dia lihat, selalu menjadi Lola. Guru yang mengajar di kelas adalah Lola. Penjual gado-gado di kantin adalah Lola. Sampai-sampai Kepala sekolahnya adalah Lola. Lola… oh Lola… tapi khayalannya selalu terputus saat ia melihat lelaki berjenggot.
Oh iya, jenggot!
Ia kembali berfikir keras untuk menumbuhkan jenggot. Percuma dia mendekati si Lola kalau dia belum punya jenggot.
Berbagai cara ia lakukan. Mulai dari makan makanan yang dipercaya dapat menumbuhkan jenggot, sampai melaksanakan pantangan-pantangan yang menyebabkan jenggot rontok.
Alhasil, usaha kerasnya kini berbuah manis, jenggot Budi tumbuh! Namun baru sebatas bulu halus. Berselang 2 meter, bulu halus itu sudah tak jelas terlihat. Ah, Mana bisa dapetin cintanya Lola kalau begini?
“Jangan pernah datangi aku jika kau tidak punya jenggot!”
Kata-kata Lola kembali terngiang.
***
Hari ini, seperti biasa, setiap seminggu sekali Budi pergi ke Pasar Cempaka untuk membeli kemiri. tapi kebiasaannya itu terpaksa tertunda beberapa jam karena ia ketiduran. Tapi tetap, pasar yang berjarak lebih dari 2 kilometer dari rumahnya itu ia datangi dengan berjalan kaki. Namun setelah dekat dengan lokasi, langkahnya terhenti. Matanya terkesiap dan meniti orang-orang yang panik dan berlari. Sementara beberapa meter, si jago merah tampak menari sendiri. Pujian angin buat api makin percaya diri. Tapi lain halnya dengan si Budi. Ia jadi panik. Jantungnya bertentum bagai bola basket yang terpantul. Sedang tubuhnya diam mematung. Sesekali matanya ia sapukan, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
Entah bisikan dari mana, langkahnya mulai hidup kembali. Budi ikut berlari. Tapi tidak sembunyi. Ia ikut membantu mengambil air dengan mencontoh orang-orang yang dari tadi sudah mencari.
Setelah tiga jam, tarian api baru bisa berhenti. Meninggalkan gores luka yang kian meninggi. Tak ada yang tersisa. Termasuk kios kemiri.
Semua orang lelah. Termasuk Budi. Matanya masih menatap sisa-sisa bangunan yang habis dimakan api. Ada satu hal yang ia sadari, bahwa ia bisa saja mati jika saja ia tidak terlambat tadi. Ia kini paham,  kematian bisa hadir kapan saja.
Jantungnya Budi masih berdegub kencang, air matanya mengalir. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia melupakan Lola lebih dari tiga jam. Budi tak sadar itu.
***
Waktu bergulir dengan pasti. Tak ada yang tahu kemana arah skenario kehidupan yang ditulis Tuhan. Sepeninggal kejadian di pasar itu, Budi berubah. Ia tidak seperti biasanya. Ia sekarang rajin sholat, setidaknya untuk beberapa minggu ini. Namun itu semua memberikan dampak yang signifikan pada wajahnya. Selain mukanya lebih segar, kini ia punya jenggot! Jenggot dalam arti yang sesungguhnya. Tidak sekedar bulu halus, tapi jenggot tulen! Entah apa karena air wudhu yang sering mengalir di wajahnya atau memang karena minyak kemiri sudah memberikan efeknya. Yang pasti, meski hanya 3 helai, ia bangga telah memilikinya.
Tapi bagai kacang lupa ingatan, memang dasar si Budi, sudah punya jenggot bukannya Tuhan yang diingat, tapi malah sosok Lola yang dilihat. Matanya kembali berapi-api. Jantungnya beradu ramai. Jenggotnya bergoyang-goyang, tanda tekadnya sudah bulat. Ia akan menembak Lola lagi! Kali ini dengan jenggot 3 helai sebagai saksinya.
Lola, akan kupinang engkau dengan jenggotku!
Limo, 20 April 2010
sumber : annida
Apr
14
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 14-04-2010
hujanPenulis: Itara Azkiya

Fajar menyingsing sempurna. Keindahan itu tak sebanding dengan bahagianya hati ini mencintai Dema. Mungkin itulah, mengapa Tuhan menegurku. Setiap hati ini mengingat Dema begitu dekat, Tuhan selalu menegurku.
Entahlah…, aku tahu Tuhan itu pencemburu. Makanya, kerap aku jalan dengan Dema, Tuhan menyambutnya dengan hujan. Cemburukah Tuhan pada Dema? Mungkin lelaki itu terlalu besar memiliki ruang di hatiku. Sisanya baru Tuhan.
Agaknya, Tuhan tak mau kuberi ruang sisa. Ia selalu menegurku dengan hujan, saat hati ini sangat mencintai Dema. Aku tak habis pikir pada Tuhan, mengapa semarah itu  melihat kedekatanku dengan Dema. Apa salahku dan Dema?
Suatu pagi, Dema membuatkan aku susu. Sementara badanku masih lelah bekas begadang semalam.
“Selamat pagi, Sayang…!” sambut Dema sambil mengecup keningku.

Aku tersipu melihatnya telah siap berangkat kerja. Padahal aku belum sempat menyeterika baju kerjanya, belum sempat menyiapkan sarapan untuknya, bahkan aku sendiri belum siap apa-apa. Masih terbaring di tempat tidur dengan rona sangat malas.
“Sayang, maaf…”
“Ssst…kamu tidur saja.  Nih, aku buatkan susu biar kamu ada tenaga. Baik-baik di rumah ya, Sayang, suamimu ini pergi sejenak mencari emas buat makan,” kata Dema sembari mengecup keningku lagi. Senyumnya bak telaga yang menghangatkan jiwa. Tangannya yang kasar berbanding terbalik dengan sentuhan yang kurasakan. Begitu lembut.
Dema tak pernah banyak menuntut. Ia suami  yang sangat bertanggung jawab. Itulah sebab mengapa aku amat mencintainya, mungkin dengan porsi yang sangat berlebihan sehingga ruang di hati ini tak begitu banyak menyimpan Tuhan.
Pun cinta yang kutanam bersama Dema, berbunga di hati kami berdua. Tapi, tidak bagi orang lain, termasuk di mata orang tuaku. Mungkin bunga itu kering dan berguguran di mata mereka.
Ya, Dema memang hanya seorang pekerja kasar. Sementara aku hanya bisa mengandalkan hidup dari hasil menjual tulisanku. Itu pun tak tentu.
Kehidupanku dan Dema bagai dua sisi mata uang yang terkadang berubah-ubah. Sedih dan senang. Sedih kusebut hujan, dan senang kunamai fajar sempurna.
Secara ekonomi, aku lebih  sering bertemu hujan dibanding fajar sempurna. Namun  fajar sempurna sering aku jumpai dalam gairah hidup. Aku senang jika bersama Dema, walau dalam kondisi apapun. Dema memiliki gairah hidup yang tinggi.
Meski dari awal, orang tuaku tak pernah setuju jika aku menikah dengan Dema, tapi itu tak membuat cintaku pudar dan keputusanku surut untuk berlayar menuju bahtera bahagia bersama kapal yang kami buat bersama.
Dan kapal itu kunamai perahu emas. Dema nahkoda dan aku adalah perahunya. Perahu akan turut kemana nahkoda membawanya pergi bukan? Terkadang badai di tengah perjalanan sering hinggap, tapi Dema pantang menyerah, ia selalu berusaha membawaku sampai pada tepi. Tepi yang kuinginkan untuk bersandar. Dan aku begitu nyaman.
Dari hujan, aku belajar mencintainya. Mencintai suamiku dalam kondisi apapun. Dari tangannya yang kasar, dari nafasnya yang lelah, dari pemberiannya yang emas. Dari hujan aku belajar bagaimana untuk tersenyum, menjadi tegar, berkorban dan berbagi bersama Dema.
“Bagaimana kau bisa bahagia, Nak, jika kau hidup di rumah kontrakan yang sempit ini? Keluarlah, kembalilah bersama kami. Hidupmu akan terjamin dengan fasilitas mewah yang biasa kau dapatkan,” tutur ayahku di awal pernikahanku bersama Dema.
Benarkah Tuhan mengutuk anak yang memutuskan untuk menikah dengan pilihannya sendiri? Benarkah pula, kemapanan yang dapat membeli kebahagiaan di dunia ini? Benarkah…
Oh Tuhan…, dengan hujan Kau menegurku, tapi dalam hujan aku semakin mencintai suamiku. Tak bermaksud aku durhaka pada orang tua, jika alasan mereka menolak Dema bukan karena Dema belum mapan, mungkin bisa kuterima. Tapi ini lain…!
Cintaku pada Dema kurajut dalam mimpi. Mimpiku dan Dema adalah mempersembahkan perahu emas pada orang tua kami. Perahu itu dibalut oleh empat komponen yaitu doa, ikhtiar, optimis dan tawakal. Perahu itu dirancang mewah untuk menghadap Tuhan di tempat yang terbaik. Perahu itu akan membawa kami bertemu di taman firdaus yang sering kami adukan pada Tuhan. Kami rela, dalam perjalanan untuk mendapatkan itu kami sering kehujanan.
Dan Tuhan tak pernah tidur. Jika perahu emas kami diguyur Tuhan dengan hujan, Dema mengajariku untuk sabar dan syukur. Itulah yang membuatku bahagia bersama Dema. Sebesar apapun badai itu, kuyakin dapat kulalui  dengan perahu emasku.
“Ayah tak butuh perahu emas. Tapi ayah butuh Dema bisa membahagiakanmu dengan rumah yang layak beserta isinya. Apa itu salah?” Ayah kembali mengucilkan Dema di depanku.
“Apalagi, sekarang kamu sedang mengandung. Apa mau nanti anakmu terlahir di rumah kontrakan ini? Dan melihat betapa hidup ini nestapa? Betapa dunia ini menyedihkan?”
Ayah…Aayah…, tiada anak yang mau menyengsarakan anaknya. Begitupun aku. Batinku bertutur lirih, tanpa membuat bibir ini mengeluarkan kalimat itu di depan Ayah.
“Pulanglah, Nak. Melahirkan di rumah sakit saja dengan dokter keluarga yang profesional.” Kali ini Ayah merajukku, serius.
“Maaf, Ayah, ini adalah tanggung jawab suamiku. Biarkan ia yang mengurus itu semua. Ayah tak usah khawatir…”

“Kamu memang keras kepala! Mau diajak hidup enak kok susah…” tukas Ayah ketus sambil melengos pergi. Dan mungkin tak akan mengengokkan wajahnya lagi ke belakang.
Ayah… Ayah…, kau tak tahu bahwa saat ini anakmu amat bahagia. Tak peduli rumah kontrakan, bagiku yang penting adalah rasa.
Tak lama setelah Ayah pergi tanpa salam, awan yang sedari tadi mendung kini membuncah dingin. Hujan datang dengan deras disertai kilat yang menyala-nyala. Seperti biasa, jika hujan datang, rumah kontrakanku selalu kebocoran. Bahkan kebanjiran.
Rembesan air bak sungai yang tampak nyata mengalir di sudut-sudut dinding. Aku sibuk sendiri menyiapkan ember agar rembesan itu tidak membanjiri lantai. Namun, tiba-tiba perutku amat mulas dan sakit sekali, seperti akan ada yang mendorong bayiku keluar. Bahkan bayiku pun ikut berontak di dalam perut, hingga rasanya sangat kacau.
Aku berteriak sekencang-kencangnya menahan nyeri yang teramat, ketubanku pecah dan terlihat darah di sela-sela betis. Dalam panik, aku melirik jam. Dema baru akan pulang satu jam lagi. Oh Tuhan…
Gelap.
Itulah yang aku rasa saat beberapa waktu yang lalu. Tersadar, aku sedang berada dalam becak dalam pelukan yang hangat. Kuraba tangan kasar itu, tak salah lagi, itu adalah Dema.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Tadi aku melihatmu terbaring di lantai bersimpuh darah.”
Aku tersenyum menyadari aku masih hidup. Dan melihat Dema di sampingku.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” katanya sambil menciumi kepalaku.
Rasanya ingin sekali mengatakan bahwa aku amat tenang di sampingnya. Tapi mulas ini seakan mengunci rapat bibirku. Aku hanya bisa mengerang kesakitan.
“Arrrrrghhhh…”
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Dema terus menggenggam erat tanganku.
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku sembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Batinku berbisik dalam sakit.
Tuhan…, kini aku sadar bahwa hujan-Mu bukanlah teguran. Dalam hujan, rumah kontrakanku banjir, tapi Dema selalu tersenyum menghadapi itu. Itulah yang membuatku kuat. Kini dalam hujan, ia membawaku berjuang menghadapi hidup dan mati mempertahankan bayi ini. Itulah yang membuatku yakin bertahan.
Dan hujan, kerap meninggalkan jejak basah di hatiku, serupa gerimis yang mengalir pelan di pipiku saat itu.
sumber : majalah annida


Mar
13
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 13-03-2010
Penulis: Zuni Indana Zulfa
cerpen-interaktif-2012-12610311602Millah kaget kejatuhan benda keras dan dingin itu. Millah pun berlari, terus berlari mencari tempat perlindungan. Tapi tak tahu harus kemana. Karena rumah dan pohon dan apa saja di kampungnya hancur tak berbekas. Sangat mengerikan. Dalam pikirannya, hanya ada ibu, bowo dan asri. Kemana gerangan mereka?
Kaki-kaki Millah berlari tanpa tujuan. Otaknya pun tak mau diajak berfikir. Sedangkan hujan es masih saja berjatuhan dari langit seperti kemarin. Sakit yang dia rasakan di kepala dia tahan sekuatnya. Dia terus berlari seperti menghindari serbuan para musuh dalam perang. Lidahnya selalu komat-kamit membaca semua do’a yang ia hafal. ”Selamatkan keluargaku ya Allah….ijinkan aku bertemu mereka…..”
Allah seolah-olah mendengar permohonan gadis ini, seketika hujan es yang mneyakitkan itu pun berhenti. Kakinya lemas karena berlari, kepalanya pening, perutnya juga sangat sakit sekali. Tapi ia tetap berdiri untuk mencari ibu dan kedua adiknya.
***
Tak terasa, ternyata dia sudah ada di jalanan kota. padahal jarak tempuh nya cukup jauh. Kalau pakai motor saja perlu waktu satu jam, entah berapa lama tadi dia berlari. Dia melihat sekeliling. Gedung-gedung yang beberapa hari lalu kokoh dan megah menampakkan kesombongan, kini jatuh ambruk tak berharga. Banyak sekali orang-orang yang menangis mencari sanak saudaranya. Beberapa ada juga yang menangisi jasad yang telah ditutup koran seadanya.
Hati Millah makin miris dan sakit. Ia tak mau menagis sepeti itu. Ia tak mau ditinggalkan ibu dan adik-adik yang ia sayangi. Menyesal sekali rasanya. Kenapa tadi pagi dia harus ke kampus? Padahal keadaan demikian parah? Harusnya dia di rumah saja, bersama dengan keluarganya…
Dari jauh, tampak sekelompok petugas penyelamat dengan seragam kuning sibuk menyeret-nyeret mayat dari reruntuhan gedung. Millah tak mau melewatkan kesempatan ini untuk bertanya keberadaan keluarganya.
”Maaf, saya mau bertanya….” ucap Millah kepada seorang petugas separuh baya yang sibuk menjajarkan mayat-mayat di pinggiran jalan.
”Ada apa, Dek?”
”Adakah pemukiman untuk para warga? Keluarga saya tidak ada di rumah, sedangkan rumah saya sekarang hancur. Saya tidak menemukan mereka. Barangkali mereka pergi ke tempat yang aman.”
”Oh….iya! Ada, tapi tempatnya agak jauh. Kalau kamu, kamu tunggu kami saja menyelesaikan tugas-tugas ini dulu.”
Millah melihat sekeliling, pasti sangat lama mencari korban-korban dalam runtuhan gedung itu. ”Tidak usah, Pak! Terima kasih. Saya jalan kaki saja. Dimana tempatnya?”
”Kalau jalan kaki, sekitar tiga jam. Kamu lurus saja terus. Nanti kamu akan melihat lapangan luas. Nah, di situ kamu carilah keluarga mu.”
”Baik, terima kasih pak…”
***
Siang yang panas, kini berubah menjadi mendung. Awan sangat gelap. Millah mempercepat langkahnya. Jam tangan kecil di lengannya menunjukkan pukul empat sore. Ternyata sudah satu jam dia berjalan kaki. Masih lama sekali lapangan itu. Perutnya mulai keroncongan, karena tadi pagi dia tidak sarapan. Kerongkongannya belum kemasukan apa-apa sedari tadi.
Gludug…..gludug…..
Suara gemuruh langit disertai kilat yang menakutkan menghiasi langit sore itu. Hujan mulai turun. Setidaknya ini adalah hujan air, tidak hujan batu es seperti tadi. Pikir Millah. Dia mangap dan menadahkan air hujan ke mulutnya. Segarnya…
Tubuhnya basah kuyub, dibiarkan begitu saja. Semakin lama, hujan semakin deras. Sekali lagi, ia menatap jam tangan mungil di lengannya. Jam lima kurang seperempat. Tapi, dia masih belum juga melihat lapangan luas yang ditunjukkan petugas tadi.
Hujan masih tetap mengguyur bumi. Sekarang tubuhnya menggigil kedinginan. Matanya mulai buram karena kemasukan banyak air hujan. Entah sadar atau tidak, dia melihat banyak tenda di depan. Hatinya berdegub kencang. Berharap itu tempat ibu dan adik-adiknya berada.
Kakinya yang lemas tetap dipaksa untuk berjalan ke sana. Kepalanya mulai pening, tubuhnya sempoyongan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan beberapa orang dari kejauhan. Ada suara perempuan, laki-laki, anak-anak, bahkan suara tangisan bayi.
”Ibu…..” ucap Millah dalam keadaan tidak sadar. Seorang wanita paruh baya memopong tubuhnya yang telah lemas tak berdaya masuk ke dalam tenda. Matanya berkunang-kunang, kepalanya pening. Dan semuanya gelap.
”Ibu….alhamdulillah kita bisa berkumpul lagi…..” ucap Asri. Ia menatap wajah kakaknya yang tertidur pulas di dalam tenda. Tamat.
Mar
13
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 13-03-2010
Penulis: Adeliany Azfar
cerpen-interaktif-2012-12610311601Millah mengusap peluhnya yang mulai mengaliri pelipis . Ia tau betul kalau jarak dari rumah ke kampus sangatlah jauh. Tapi ia lebih tau tentang keyakinan hatinya dan percaya bahwa ia akan sampai di kampus tepat waktu. Pagi-pagi sekali Millah berangkat. Kebetulan, ia melarang Asri dan Bowo, kedua adiknya untuk masuk sekolah hari ini. Karena biasanya, memang Millah yang mengantarkan kedua anak itu. Tapi semua tau, betapa dashyatnya bencana kemarin sore, hingga motor kesayangan Millah tercatat sebagai korban. Bukan hanya itu, tapi banyak jiwa yang terguncang karena peristiwa alam tersebut, dan juga jalanan yang sekarang tengah ia lewati tak kalah berantakannya. Pohon-pohon tumbang, atap rumah roboh dan masih banyak lagi.
Tepat pukul sembilan, Millah memasuki gerbang kampus. Ia mengucap syukur berulang kali. Allah memang Adil. Buktinya sekarang Millah bisa dengan mudah sampai di kampus yang berjarak 14 km dari rumah. Namun, kampus tak seperti biasanya hari ini. Semua mahasiswa duduk bergerombol di pepohonan yang ditanam di halaman kampus. Mereka tampak takut dan gelisah. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, hingga Millah bisa melihat dengan jelas salah satu dari mereka bahkan lebih, tengah berurai air mata. Cepat, gadis berjilbab itu menghampiri teman-temannya yang asyik bercerita.
“Assalamualaikum….!” sapanya lembut. Semua menoleh kaget dan kemudian tersenyum.
“Waalaikumsalam, Mil…!” balas mereka cepat.
“Eh, lu tau nggak, Mil, kiamat udah dekat!” ucap Ayu, salah seorang teman seraya menarik lengan Millah untuk duduk mendekat. Ditarik begitu, Millah jadi hilang keseimbangannya.
“Aduh…lu gimana sih, Yu, baju ku jadi kotor nih!” protes Millah sebal.
“Maaf deh, Mil! Tapi ini beneran loh!” ucapnya lagi. Millah hanya angguk-angguk mendengar berita yang baru saja ia dengar. Melihat ekspresi Millah yang datar-datar aja, Ayu semakin terpancing untuk bercerita lebih jauh.
“Menurut ramalan Suku Mayat, besok alam semesta akan kimat! Dan yang lebih mengejutkan adalah perkiraan cuaca dari badan Iklimanataulagi. Menurut mereka, suhu di muka bumi saat ini tak bisa ditebak. Paginya cerah, siangnya mendung dan sorenya turun hujan. Parahnya, malam ini diramalkan akan terjadi hujan es yang lebih besar dari kemarin”. Terangnya berapi-api. Namun Millah masih tetap tenang tanpa sedikit pun terpengaruh pada apa yang disampaikan Ayu.
“Hmmm…emang kiamatnya jam berapa, Yu?” tanyanya santai. Ayu tersentak mendengar pertanyaan itu.
“Jam 20.12, Mil!” jawab Ayu semangat.
“Oh…berarti kita masih punya waktu kurang lebih 35 jam untuk memperbaiki akhlak!” Ayu tak lagi bisa menyampaikan rasa keterkejutannya atas apa yang disampaikan Millah. Karena sedetik setelah itu, tempat yang tengah mereka duduki seketika bergetar hebat.
“Gempa…..!” teriak mereka secara bersamaan dan tetap diam dalam posisi masing-masing. Beruntung, saat ini mereka sedang tidak di dalam gedung. Guncangan yang mungkin sekitar 8 SR itu, telah menghancurkan sebagian gedung kampus dan itu disaksikan oleh semua mahasiswa yang berdiri di halaman.
Cewek-cewek tersedu-sedan menyaksikan amukan alam yang memang luar biasa menakutkan. Begitu juga dengan Ayu yang sedari tadi memeluk lengan Millah dengan erat, sedangkan Millah lebih memilih untuk beristigfar. Dua menit kemudian, getaran yang tadinya begitu hebat sekarang mulai mereda.
“Alhamdulillah,” Millah berucap pelan. Namun, semua tak berakhir begitu saja. Seketika langit mendung, dan angin puting beliung mulai menyapu seluruh benda yang ada. Semua panik dan berlari mencari perlindungan. Tiga buah tenda yang dipasang di depan gerbang kampus terbang berantakan. Begitu juga dengan benda-benda lainnya. Beberapa mahasiswa ada yang terseret sejauh lima meter karena tak kuat mempertahankan diri dari angin yang mungkin bisa sebut badai kecil itu.
Millah mengangkat tangan kanan, dan memperhatikan arlojinya. jam menunjukkan pukul sepuluh tepat, perasaannya kacau balau.
“Ya Allah…bagaimana keadaan ibu dan kedua adikku?” ia mulai menitikkan air mata, nyaris putus asa. Di depannya, bencana begitu jelas terlihat. Tak ada lagi persembunyian. Gedung-gedung telah hancur. Bahkan sekarang, ia hanya berdiri kaku seraya menggenggam batang pohon pinus tempat yang tadi tengah ia dan teman-temannya tempati. Millah hanya sendirian di tempat itu. Kawan-kawannya sudah berhamburan entah ke mana.
Millah melepaskan pegangan dari pohon pinus dan berlari ke depan. Pemandangan yang sama sekali tak ingin ia lihat. Mobil-mobil di jalanan saling hantam, pengendara motor banyak yang jatuh dan juga toko-toko di sepanjang jalan hancur lebur nyaris sama dengan tanah.
Millah mempercepat langkahnya. Dalam keadaan begini, jarak dari kampus ke rumah terasa semakin jauh. Baru dua jam kemudian, ia sampai di rumah. Peluh dan keringat yang bercucuran tak dihiraukannya sama sekali. Sampai di depan rumah, air matanya kembali menetes. Bahkan kini, Millah tersedu-sedu dan hampir meraung. Rumahnya tak layak huni. Semua hancur. Motor yang tadinya hanya lecet sekarang tak lagi bisa diduduki karena memang sudah tak berbentuk. Segera Millah menerobos reruntuhan rumah namun ia tak juga menemukan Ibu, Asri dan Bowo.
“Ya Allah…ke mana mereka?” teriaknya panik. Tapi memang tak berguna menelusuri tempat itu, karena tak mungkin ada tempat bagi manusia untuk berlindung. Milla berlari ke luar namun ia tak menemukan seoranng pun di tempat itu. Rumahnya kosong begitu juga dengan rumah-rumah tetangga. Millah sendirian di kampungnya. Sesaat setelah itu, butiran-butiran es jatuh dan keras menghantam ubun-ubunnya.
Mar
13
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 13-03-2010
Penulis: Ummu Zainab
cerpen-interaktif-2012-126103116025 Desember 2009
Sore ini–mungkin–merupakan kiamat bagi keluarga Milah.
Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat yang menerangi langit hitam pekat. Pohon-pohon di depan rumah Milah tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, rantingnya, bergoyang keras.
”Buu, atap rumah terbaaang!” Asri, adik Milah yang tengah duduk di bangku SMA, berteriak panik sambil menunjuk ke arah langit-langit dapur mereka yang telah lenyap sebagian.
“Astaghfirullah,” Milah dan ibunya hanya bisa diam mematung sambil tak putus-putusnya bibir mereka beristighfar, butir hujan yang besar-besar segera berjatuhan, berserak membasahi lantai semen dapur itu, tanpa penghalang lagi. Sementara angin di luar sana tidak jua berhenti berputar, menghajar semua benda yang ditabraknya, suara hembusannya mencekam suasana, lama-lama terdengar semakin menderu, berputar cepat layaknya gasing.
“Kraak…”
Satu, dua, tiga buah pohon tumbang seketika, tak mampu terus bertahan menghadapi putaran angin yang menggila.
“Allaaahuakbar!” Milah histeris, langsung berlari menuju ruang tamu, ke depan jendela, kemudian dengan serta-merta menyibak tirainya. Ia saksikan motornya yang diparkir di depan rumah tertimpa pohon besar, untung masih tertahan oleh pagar, hanya ranting dan daun-daunannya yang menutupi sebagian besar badan motor itu.
“Kak, motornya!”, semua hanya bisa melihat dari balik tirai jendela itu, sedih, tak berdaya, dan dicekam ketakutan.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Milah menunjuk-nunjuk kaca jendela. Tampak tiang listrik di samping kanan rumah mereka memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Ya Allah, selamatkan kami! Selamatkan kami!” Asri mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan sesenggukannya.
“Matikan listrik semua! Padamkan! Kita harus mengungsi ke tempat yang tidak ada pohon ataupun tiang listrik, ke daerah rumah-rumah di belakang,” suara Milah melengking, menyulut kepanikan, ia memberi intruksi pada Asri dan Bowo, adiknya yang masih 6 SD. Semua mengangguk patuh. Sambil melaksanakan perintah Milah, kerutan di kening mereka tidak juga beranjak.
“Loh! Ibu? Ibu sedang apa?” Milah melihat ibunya memasukkan baju-baju ke ember besar, buku-buku pelajaran Asri, Bowo dan Milah pun dimasukkannya.
“Ibu, gak usah pedulikan itu! Kita harus keluar, ini bahaya Bu! Kita harus segera menjauh dari rumah, sebelum pohon-pohon semua tumbang dan menimpa kabel tiang listrik di depan.”
“Tapi kalau terjadi kebakaran bagaimana? Ibu mau selamatkan ini, barang-barang kalian, kalau tidak… Ibu tidak mampu lagi membelikan yang baru,” air mata bercucuran dari mata wanita itu.
Milah menggeleng geram, kemudian bergegas menghampiri ibunya dan melempar jauh ember itu sekuat tenaga.
“Sudah Bu! Yang penting kita semua selamat! Ayo Bu!”
“Ibu tidak akan pergi tanpa bawa barang-barang ini,” suara sang Ibu terdengar menyentak, bersitegang.
“Loh, nyawa ibu lebih penting daripada buku pelajaran kami, pokoknya ibu harus ikut keluar sekarang juga!”
“Tidaak!”
Milah bersikeras menarik ibunya untuk ikut keluar, tapi sang ibu malah ngotot membereskan barang-barang lainnya yang belum dimasukkannya ke dalam ember. Lima menit mereka berada dalam pertikaian. Sampai akhirnya…
“Kaaaak, aneh Kaaak! Hujan es! Hujan eeess!,” Bowo berteriak panik, berdiri di depan pintu menyaksikan butir-butir es sebesar kelereng jatuh dari langit. Suara gaduh terdengar di atas atap rumah mereka, seperti suara kerikil yang sengaja dilemparkan ke atap secara terus-menerus tak terputus.
“Subhanallah.”
Angin sudah tidak lagi berputar, kini giliran butiran es yang meluncur jatuh dari langit membuat mereka terpana. Tak-tok-trok-toktoktok.
* * *
Badai telah berlalu. Hanya dalam hitungan menit, namun berhasil memporak-porandakan satu kota: Pepohonan banyak yang tumbang, entah itu pohon pisang, pohon besar, maupun pohon-pohon kecil yang dijual dalam pot di pinggir jalan, berserak-serakan diterjang angin, bahkan tiang listrik pun ada yang tumbang juga, papan-papan iklan di jalan terkoyak-koyak, atap-atap rumah banyak yang berterbangan, termasuklah atap rumah Milah.
Milah menatap motornya. Beberapa menit lalu para warga membantu ia dan ibunya untuk mengangkat pohon yang roboh menimpa pagar rumah plus motornya itu, juga membersihkan daun-daun dan ranting yang berhamburan menutupi jalan. Motor Milah agak penyok, mesinnya dingin, susah sekali dihidupkan meski sudah berkali-kali distarter.
Kini yang tersisa hanya kebingungan, bagaimana cara ia pergi ke kampus besok. Sementara untuk ongkos, ia harus keluar mahal, jalan kaki tidak mungkin. Milah menggigit bibirnya, pandangan matanya masih kosong menatap motor di hadapannya.
Mar
13
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 13-03-2010
Penulis: Wurini
sang-penari-okeAku sedang membeli kertas minyak untuk membungkus jajanan nasi bungkusku di warung Pak Kaji, ketika kudengar beberapa pemuda yang nongkrong di bawah pohon randu sambil bermain judi, melontarkan beberapa kalimatnya.
“Goyangannya memang tidak seaduhai goyangan emaknya dulu. Tapi pakaiannya itu, Gus. Seksi tenan…”
Kata “seksi” itu langsung disambut gelak tawa oleh beberapa pemuda lainnya.
“Sekali aku melihatnya waktu kutengok pamanku di Jakarta kemarin. Awalnya aku ragu, tapi setelah kuajak ngobrol, gadis itu benar-benar Cantika. Coba bisa lebih lama aku di Jakarta, bisa kuajak t**ur dia. Hahaha…”
Kali ini tawa itu lebih keras dan membahana. Kemudian sambil masih mengisap rokoknya, pemuda yang sedari tadi berbicara itu melanjutkan,
“Nasibnya memang mujur seperti emaknya. Tapi mungkin saja ujung-ujungnya juga seperti si muka parut itu. Ha…”
Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu untuk segera menutup telinga. Hatiku panas, tentu saja. Aku sudah lama sekali meninggalkan dunia seniku sebagai seorang penari tayub sejak terjadinya peristiwa itu. Tidak. Tak akan pernah kuulangi lagi. Aku mati-matian menahan luka yang kudapat dari cemoohan tetangga-tetanggaku yang tidak henti-hentinya memandangku sebagai sampah hingga menurut mereka, peristiwa itu pantas jika terjadi padaku. Aku disamakannya seperti pelacur. Padahal pekerjaanku bukanlah menjajakan tubuh seperti yang kulihat di dekat kontrakan Cantika sewaktu aku diajaknya pindah ke Jakarta . Dan aku tak betah melihat beberapa malam Cantika keluar rumah dengan alasan bekerja dan baru pulang keesokan harinya. Biasanya menjelang siang. Mataku juga sakit melihat perempuan-perempuan yang memoles wajahnya sedemikian rupa demi menarik pelanggannya. Mereka berdiri berjejer di sepanjang jalan dan melakukan satu negosiasi atas tubuhnya sendiri. Aku bukan hanya sakit karena melihat bayangan masa lalu hitamku, tapi lebih-lebih aku merasa pedih karena ketakutanku melihat kenyataan-kenyataan yang mungkin saja terjadi pada mereka seperti yang dulu menimpaku.
Dan sore itu, aku kesal bukan alang ketika ku tahu bahwa Cantika juga menjual tubuhnya, walaupun itu hanya kulit yang paling luar. Hasil dari pekerjaannya itulah yang ia pakai untuk untuk membiayaiku makan, membayar uang sekolah Lentika, adik satu-satuya. Aku marah semarah-marahnya. Tak dapat kutahan. Aku tidak rela gadisku dijamahi banyak orang walaupun itu atas nama profesioal. Dan yang paling membuatku tidak ikhlas adalah karena Cantika menikmati profesinya sebagai penari latar itu. Mirisnya lagi, tempat Cantika bekerja adalah sebuah diskotek.
“Kan mereka cuma memegang tubuh saja, Bu. Cantika nggak pernah mengizinkan lebih dari itu kok”, begitu kilahnya itu saat kucoba membujuknya untuk meninggalkan pekerjaan itu. Tapi Cantikaku tak bergeming, pun saat kemarahanku hampir mencapai puncak. Yang membuatku kalah justru kenyataan bahwa anakku itu mengetahui masa lalu ibunya sebagai seorang penari tayub dan itu dijadikannya argumen untuk memaksaku menyetujui profesinya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan tetap pada pendiriannya.
“Bukan hanya karena duit, Bu. Tapi Cantik sudah terlalu cinta dengan menari.”
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Cantika berwatak keras, sama seperti ibunya saat meladeni omongan kakek dan neneknya dulu.
Aku masih saja menggerutu ketika sudah sampai di tempat yang menjadi tujuan Bapak dan Ibu. Tempat mereka mengais rezeki tiap harinya. Tempat sampah. Pasokan sampah yang terus bertambah tiap hari di bantaran kali itu seperti halnya tumpukan emas bagi kedua orang tuaku. Tapi aku jijik. Walau berulang kali Bapak dan Ibu memarahiku karena tidak mau membantu mereka sedikitpun, aku tetap tak peduli. Walaupun tidak muntah, aku sudah cukup puas dengan mual yang kurasakan terus membelit perut sedari tadi. Aku muak melihat kenyataan bahwa ternyata, aku si Prameswari, gadis manis tiga belas tahun, dipaksa hidup bergelimangan sampah dan kemiskinan.
“Coba dulu kaucari-cari di sini, Nak. Siapa tahu banyak sampah yang masih bisa kita jual. Kau ini sudah besar, harus membantu ibu dan bapakmu.”
Tapi teriakan ibuku kuanggap angin lalu saja, tak kugubris sama sekali. Aku malah berlari meninggalkan karung sampahku.
Dari dulu aku memang merasa tidak sanggup hidup dibelit kemiskinan. Walaupun sehari-hari keluarga kami ditopang oleh adanya sampah dan makanan kami pun selalu alakadarnya, tapi kenyataan itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku, paling tidak menyadarkanku bahwa aku harus prihatin dengan hidup. Yang kulakukan dari dulu hanyalah bermain, tak pernah mau membantu orang tuaku berbaur dengan sampah. Bahkan sikap yang masih kupelihara sampai sekarang adalah rasa iri kepada teman-teman kelas satu SD-ku yang walaupun miskin, tapi tidak semiskin keluargaku. Kemiskinan itu jugalah yang membuat aku DO dari sekolah karena biaya.
Aku tak sanggup. Aku tak sanggup dibayangi derita yang kudapatkan dari ejekan teman-temanku. Aku tak tahan hidup miskin telalu lama, hingga selalu kukuatkan keinginanku untuk mengubah hidup dari nasib yang begitu melarat.
Dan pertemuanku dengan Yu Narmi itulah yang menjadi awal berubahnya masa suram hidupku. Yu Narmi mengenalkanku pada tayub. Waktu itu. Yu Narmi mengatakan bahwa wajahku benar-benar asli Indonesia. Asli Jawa sehingga terlihat lebih eksotik. Kalau dipoles sedikit saja, walapun itu hanya dengan pupur murahan, aku pasti akan terlihat begitu cantik. Lagi pula, badanku juga begitu menarik hingga nanti, ketika sudah ada di panggung, pasti akan menyedot perhatian kaum Adam yang bermata jelalatan dan berkantong tebal untuk menyisipkan lembaran puluhannya ke dadaku.
Aku panas oleh kemiskinanku. Aku tergiur oleh mimpi yang dikenalkan oleh Yu Narmi.
Mulailah aku belajar menari, dengan diam-diam tentunya, karena bagaimanapun Bapak dan Ibu tidak akan pernah mengizinkanku menari tayub dan disawer oleh banyak laki-laki. Mereka tidak akan mau melihat anaknya melenggak-lenggokkan pinggulnya untuk membuat para laki-laki terpikat.
Tapi tekadku sudah kuat. Tanpa sepengetahuan bapak dan ibu, aku berlatih menari tiap harinya dibimbing oleh Yu Narmi, diajari memoles wajah, sampai bagaimana harus menampakkan mimik muka untuk menggoda para pelangganku nanti. Ketika sudah mahir dengan tarian-tarianku dan dianggap sudah siap pentas, Yu Narmi mengajakku ke pagelayan tayub. Sungguh menakjubkan, aku hanya harus menggoyangkan pinggulku, memasang senyum manis yang tak boleh habis dan menggerakkan badan supaya sesuai dengan tembang yang dibawakan. Dari situlah para pelangganku berdatangan. Mereka yang sudah terlihat tertarik ataupun yang masih ragu-ragu kulemparkan sampur, selendang warna kuningku, dan ku ajak menari bersamaku. Dari satu dua goyangan itulah aku mendapatkan rupiah, meninggalkan amanat orang tuaku untuk menjaga tubuh supaya tidak terjamah oleh laki-laki, walaupun hanya oleh matanya saja.
Awalnya aku bisa menyembunyikan bangkai dari Bapak dan Ibu, tapi ketika aku sudah mulai menjadi primadona di antara penari tayub lainnya, dan paguyuban juga sudah lebih ramai dari biasanya, Bapak dan Ibu marah besar. Mereka mengetahui info itu dari tetanggaku, seorang bujang yang banyak duit, terkenal badung dan tanpa tata krama yang menyawerku secara langsung. Aku tergagap tak bisa menjelaskan apa-apa lagi untuk membela diriku sendiri. Tapi aku telanjur cinta tayub. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Aku terlalu cinta rupiah yang hanya bisa kudapatkan dengan mudah dari menayub saja. Dan aku tak mau meninggalkan pekerjaan itu, walau Bapak dan Ibu akan terus memusuhiku. Hingga suatu malam, ketika kemarahan beliau sudah memuncak, aku diusirnya. Tepat setelah aku pulang membawa banyak uang hasil saweran. Dengan kasar Bapak mengatakan bahwa beliau lebih rela makan uang dari hasil sampah daripada hasil menjual tubuh. Aku tak terima. Aku meradang dikatakan seperti itu, karena bagaimanapun, aku bukan pelacur. Aku hanya menjual kulitku, goyanganku, pinggulku, dan tidak pernah lebih dari itu.
Malam itu, kuputuskan hubungan darah dengan orang tuaku.
Aku semakin tergila-gila dengan tayub, karena dari situlah bisa kukumpulkan uang untuk membeli keperluanku yang tak bisa dipenuhi oleh Bapak ataupun Ibu. Aku cukup kaya untuk ukuran seorang gadis. Setelah diusir oleh Bapak dan Ibu dulu, aku datang kepada Yu Narmi dan mengadukan nasibku. Tentu dengan suka cita dipungutnya diriku. Dirawatnya aku sebagaimana merawat berlian yang paling mahal. Baginya, aku ini adalah aset yang sangat berharga. Dengan masih adanya diriku di paguyuban itu, tentulah semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh Yu Narmi.
Lain halnya dengan rasa sumringah Yu Narmi atas kedatanganku, para wanita sesama penari tayub memandangku sinis. Kemakmuranku sering disambut dengan sindiran dan ucapan pedas. Walaupun berkali-kali Yu Narmi mencoba melerai pertengkaran sengit kami, tetap saja api kebencian sudah terlanjur membara di hati kami masing-masing.
“Coba saja berani menggeser kedudukanku di sini. Kau akan menyesal, Prameswari! Kau tak akan pernah bisa lagi menari di sini!” ucap Nunuk, salah satu penari.
Dan aku tak tahu rencana apa yang dibuat oleh mereka hingga terjadilah peristiwa mengerikan itu.
Malam itu aku terpaksa membeli obat nyamuk sendirian. Yu Narmi sudah tidur dan tak mungkin aku membangunkannya. Ia juga kelelahan. Sama sepertiku yang seharian tadi nayub. Badanku terasa pegal semua hingga aku butuh istirahat yang cukup dan nyaman. Tapi nyamuk-nyamuk di kamarku begitu banyak hingga membuatku tak bisa memejamkan mata. Menyebalkan. Apalagi ternyata obat nyamuk bakarku habis. Dan aku terpaksa membelinya di luar.
Waktu arlojiku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku keluar rumah. Tapi terlanjur, lagi pula, warungnya juga tidak terlalu jauh dan keinginan untuk tidur nyenyak malam ini supaya bisa nayub lagi esok membuatku memaksakan diri pergi ke luar seorang diri. Takut sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.
Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Andai saja aku bisa membaca mata benci saingan tayubku, mungkin aku akan berhati-hati tiap malamnya hingga tak nekat keluar seperti ini dan memilih tak bisa tidur dari pada bertemu serigala-serigala busuk di depanku. Aku tak bisa melawan ataupun berontak. Yang kutahu, malam itu aku digelandang ke semak-semak oleh beberapa pemuda di desaku. Aku kenal mereka, yang kerjaannya hanya bermain judi dan menggoda gadis-gadis yang melewati area judinya.
Malam itu aku merintih. Dipermalukannya diriku habis-habisan. Dibuatnya hidupku menderita seumur hidup dengan menanggung malu. Tak cukup melakukan itu, dengan sayatan pisau yang tajam, bajingan–bajingan itu merobek-robek wajahku.
Aku mengurung diri setelah mendengar obrolan para pemuda di depan warung Pak Kaji tadi. Sudah cukup panas telingaku mendengarkan omongan tetangga. Tapi walaupun pedih yang kurasakan tiap saatnya, aku tak bisa lagi memaksa Cantika pulang dan meningalkan pekerjaannya.
Sejatinya, aku ingin membuat Cantika bahagia, dengan uang. Karena alasan itu jugalah yang membawa Cantika minggat ke Jakarta.
Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah berharap agar Cantika tak mengalami nasib sepertiku. Entahlah, walau hal itu bisa terjadi pada siapa saja, tapi peristiwa bejat malam itu membuatku trauma. Aku seperti ketakutan kalau ada saudara atau keluargaku memilih profesi sebagai penari. Profesi yang dulu sempat kupilih dan mengantarkanku pada bisu. Bisunya dunia saat gerombolan laki-laki itu memaksa tubuhku meladeni mereka semua hingga yang kurasakan bukan hanya ragaku yang terasa sakit, tapi juga batinku ngilu. Yang lebih menghancurkanku, namaku tercemar sejak saat itu, karena setelah kejadian malam itu tak ada yang percaya kepadaku bahwa aku telah diperkosa dan ingin menuntut keadilan. Apalah artinya keadilan bagi gadis sepertiku yang datang dari kubangan sampah. Warga lebih percaya pada Nunuk, sesama penari tayub yang menganggapku sebagai saingan. Mereka lebih terhasut dengan kalimatnya yang mengatakan bahwa akulah yang menjual diri, bukannya diperkosa. Dan hidupku luntang lantung setelah itu. Aku tidak mungkin menayub lagi karena wajahku lebih mengerikan dari pada orang yang berparas jelek sekalipun akibat sayatan-sayatan pisau para bajingan itu.
Aku juga tak sanggup lagi datang untuk yang kedua kalinya ke rumah orang tuaku karena Ibu berkali-kali mengusirku. Alasan yang dikatakannya begitu mengejutkanku. Setelah mendengar bahwa aku menjadi pelacur dan menjual diriku pada beberapa gerombolan pemuda desa, Bapak tiba-tiba langsung tak sadarkan diri, dan tak bisa tertolong karena shock yang amat sangat. Tak tahu lagi bagaimana jalan hidupku jika sore itu aku tidak menerobos hujan dan berniat mengakhiri hidupku di jembatan. Tepat saat beberapa senti lagi tubuhku akan terjun bebas, tiba-tiba aku diperkenalkan oleh alam pada seorang laki-laki yang tidak tampan, tapi berhati emas. Laki-laki itulah yang menyelamatkanku sebelum aku benar-benar mati. Sebulan setelah itu ia mengawiniku, walau tahu bahwa mukaku sudah tak secantik dulu. Bahkan setelah peristiwa mengerikan itu, warga desa sering menghinaku dengan sebutan si muka parut. Tapi suamiku itu sama sekali tak peduli. Dia mencintaiku, memberiku dua anak, Cantika dan Lentika. Saat keduanya belum sampai melihat dunia sampai berumur lima tahun, Mas Sugeng, laki-laki itu meninggalkanku, tewas dilindas kereta api.
Ada alasan yang memungkinkan seseorang tetap mau menjalani hidup meski nasib selalu menggiringnya pada kekerasan. Motivasi. Beberapa sanak saudara, impian, anak, keluarga, dan hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa seseorang itu tetap bertahan hidup di antara kekejaman-kekejaman yang selalu menimpanya. Dan demi impian-impian untuk terus hidup bersama mereka itulah, seseorang yang paling menderita pun akan melawan arus kuatnya dunia.
Tapi bagaimana denganku? Aku sudah tak punya siapa-siapa. Saat hidupku kini menunggu detik detik berkurangnya usia, aku juga tak kunjung merasakan bahagia. Aku bukanlah anak yang sanggup berbakti kepada orang tua hingga mereka tak sudi menerimaku lagi sebagai anak. Aku juga tak memiliki keluarga dari Mas Sugeng karena yang diceritakannya padaku saat hendak menikahi adalah kenyataannya sebagai pedagang asongan dan tak memiliki siapa-siapa lagi. Lalu Cantika sudah tak mau menggubrisku, walaupun sesekali ia masih menyapa ibunya ini dengan manis. Kemudian Lentik, menyusul kakaknya ketimbang menemani ibunya di kampung.
Aku sudah tak kuat. Walaupun masih kumiliki dua gadis manis darah dagingku, aku masih tetap merasa sepi. Ketakutan yang kini menimpaku adalah bayangan-bayangan yang selalu saja menghantui tidurku tentang perihal yang menimpa dua putriku di dekat kontrakannya yang tidak aman itu. Aku benar-benar takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan nasib keduanya. Aku tak mau melihatnya berduka. Aku trauma. Aku phobia. Dan aku tak ingin kedua terlindas nista oleh kejamnya manusia.
Saat pikiranku sudah tak tahu ada di mana, aku tersenyum saja sambil mengambil sebuah bungkusan yang sering kupergunakan untuk membunuh tikus-tikus di gubuk reot ini. Bahkan aku masih bisa tertawa saat menyadari betapa tercekiknya leherku setelah lima menit meminumnya.
Warga desa Klamengan geger. Pasalnya, mantan penari tayub yang sudah bertahun-tahun menjadi pemulung itu ditemukan mati bunuh diri di rumahnya. Sedikit sekali yang melayatnya. Di samping tak banyak yang suka terhadap wanita itu, tak ada juga keuntungan yang akan didapatkan dengan mendatangi rumah duka itu. Parahnya lagi, tak ada yang tahu alamat kedua anaknya di Jakarta hingga warga menguburkan secara alakadarnya seteleh sebelumnya sempat ditangani polisi.
Suasana panas di kereta api itu tidak menyurutkan senyum yang terpancar dari dua kakak beradik itu. Terlihat sekali bahwa mereka begitu bahagia. Tak ada yang terpancar dari wajah keduanya selain sinar puas dan rasa rindu yang amat sangat pada seseorang. Gadis itu ingin sekali cepat sampai di kampungnya untuk menyampaikan bahwa dirinya sudah keluar dari tempat kerjanya yang lama dan diterima di suatu biro pelayanan travel. Ia ingin menyampaikan berita gembira itu pada ibunya sekaligus menjemputnya ke Jakarta . Diyakininya bahwa kali ini, ibunya tidak akan menolak lagi karena uang yang didapatkannya lebih halal dari pada sebelumnya.
Gadis itu tersenyum sambil mengusap keringat adiknya. Sebentar lagi, kereta api akan sampai di tempat tujuan, membawa dua gadis itu, Cantika dan Lentika pada berita yang akan mengejutkannya.
(sumber : Annida)
Mar
13
Filed Under (CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by PenYejuk haTi UntukmU on 13-03-2010
Penulis: Azzura Dayana
angkasa“Maret, kok berani banget kamu? Beneran baru kenal?” suaranya agak meninggi di telepon. Aku tahu dia bukan marah, tapi lebih kepada kaget.
“Iwyhaa…,” jawabku membenarkan, sambil mulutku terus mengunyah roti.
“Baru kenal di Facebook?” cecarnya lagi.
“Iwyhaa….” sahutku, kali ini langsung menelan kunyahan roti terakhirku.
“Hei, berhenti makan roti!” perintahnya.
Aku menjauhkan ponsel dari kupingku. Santai, dong!
“Ini juga udah selesai…,” aku mencibir.
“Nggak sopan, ngobrol sama orangtua kayak gitu…”
“Udah tua nih yee?” aku malah jahil.
Tak ada suara. Aku yakin dia jadi sedikit dongkol.
“Eh, sorry, Kang. Lanjut deh… lanjuuut,” kataku. Ya ya ya… bagaimana pun, laki-laki yang sedang berbicara di telepon ini adalah kakakku. Tadi siang, aku menulis status di Facebook seperti ini: ‘Kesampean juga mo naik Semeru lusa. Abis berselancar di Facebook, ketemu teman-teman yang punya rencana sama, akhirnya aku join deh… Asyiiik….’ Rupanya Kang Juni membaca statusku itu, dan sore ini ia melancarkan interogasi kepadaku.
“Apa kamu nggak khawatir? Kamu bakal naik gunung, Maret! Lebih dari sehari semalam bersama. Dan kamu bilang, kalian bertujuh, perempuannya cuma dua orang termasuk kamu?”
“Maksudnya, Kang Juni khawatir orang seperti apa lima cowok itu?”
“Bahkan aku mengkhawatirkan satu cewek itu juga. Gimana kalau ternyata mereka itu satu persekongkolan?”
Ciri-ciri orang yang over-protektif memang begini ini.
“Persekongkolan apa sih, Kang?”
“Persekongkolan apa saja. Yang pasti tujuannya tidak baik.”
“Maret yakin mereka cowok-cowok yang baik, Kang,” belaku.
“Tahu dari mana?”
“Dari tulisannya di Facebook, foto-fotonya…”
“Orang mana bisa dinilai baik buruknya cuma dari tulisan dan fotonya saja,” sambarnya, persis kayak petir.
Aku bersungut-sungut. Kang Juni memang pengganti orangtuaku yang telah tiada. Dia kakak pertamaku, bekerja di Jakarta dan sudah berkeluarga. Aku, si bungsu, tinggal bersama kakak perempuanku yang juga sudah berkeluarga di Bekasi. Tapi, Teh Mei tidak secerewet Kang Juni. Dia sih boleh-boleh saja aku naik gunung. Dulu aku menaklukkan puncak Gunung Gede saja bareng Teh Mei. Juga Gunung Papandayan di Garut yang sangat tinggi itu. Kalau Kang Juni sih, seumur hidup dia lebih suka bekerja indoor daripada melihat-lihat dunia.
“Kalau Kang Juni khawatir, ya Kang Juni ikut aja naik gunung nemenin Maret. Sekali-sekali ini…”
“Pekerjaanku banyak!” sahutnya cepat.
“Pekerjaan Maret juga banyak. Makanya mau refreshing bentar dengan naik gunung….”
“Refreshing kok caranya naik gunung?! Di mana-mana, yang namanya naik gunung itu, risikonya tinggi, rawan kecelakaan, pulangnya pegal-pegal, badan sakit semua, mesti ke tukang urut atau dokter, akhirnya bisanya tiduran melulu, besoknya izin nggak masuk kerja. Pekerjaan pun akhirnya numpuk, nggak selesai-selesai…”
Ciri-ciri orang yang nggak pernah naik gunung.
Mungkin naik gunung memang berisiko, tapi nggak seheboh itu deh kayaknya…
“Terus Maret harus gimana? Maret nggak mau ngebatalin naik Semeru…,” rengekku.
“Kamu harus bawa teman yang sudah kamu kenal baik. Minimal satu orang.”
“Yaah… siapa dong?”
“Siapa saja. Freza kek, siapa kek? Kalau perlu, kamu bayarin biar dia mau.”
What? Freza? Freza temanku yang ceking itu? Yang alergi minum susu dan pernah sekali nggak naik kelas waktu SD? Tapi… tidak masalah deh. Yang penting surat izin Kang Juni turun. Lagipula, sepertinya Freza cukup bisa diandalkan. Dulu kan dia pernah bilang rajin ikut karate.
Kalau Kang Juni tahu aku berangkat ke Jawa Timur naik kereta api ekonomi, dia pasti ngamuk-ngamuk lagi. Akhirnya, aku pun membujuk Teh Mei untuk merahasiakan hal itu dari Kang Juni. Jika Kang Juni bertanya, kami akan mengatakan bahwa aku dan teman-temanku naik kereta api eksekutif menuju Malang. Teh Mei cukup berjiwa backpacker, jadi ia tidak mempermasalahkan urusan perkeretaan itu. Ia malah berkata, andai ia belum punya bayi, ia mungkin sudah ikut aku ke Semeru.
“Seandainya edelweiss boleh dipetik, aku ingin titip petikkan satu. Tapi karena tidak boleh, aku titip foto bunga-bunga edelweiss saja, ya,” kata Teh Mei. Dia pernah sekali naik Semeru bersama teman-temannya. Dan ia sangat terkesan pada bunga edelweiss.
“Bereees!” kataku sambil mengelap lensa DSLR.
Jam satu siang, aku tiba di stasiun Senen bersama Freza. Freza ini adalah teman baikku sejak SD. Pada saat SMP dan SMA, sekolah kami berbeda. Tapi kami dipertemukan kembali ketika kuliah di sebuah universitas di Bekasi, meskipun berbeda fakultas.
Kami celingak-celinguk mencari rombongan enam orang Facebooker yang akan menjadi teman seperjalanan kami itu. Sebuah sms masuk, mengabarkan bahwa Hadi, si ketua rombongan telah menunggu kami di lobi. Tiket buat kami berdua juga sudah dibelikan. Aku penasaran bertemu mereka secara langsung. Kami baru sebatas saling melihat foto-foto di Facebook saja. Aku yakin begitu saja untuk bergabung dengan mereka, karena dari catatan, status, dan foto-foto mereka, dapat kusimpulkan bahwa sebagian dari mereka aktif di lembaga dakwah di kampus mereka di Jakarta. Sebagian lainnya aktif di Mapala, dan ada juga yang sudah bekerja di kantor, termasuk si perempuan satu-satunya bernama Rei. Ia mengenakan jilbab sebatas dada. Wajahnya manis dan ramah. Aku yakin, mereka orang baik-baik.
“Assalamualaikum, Maret, Freza, salam kenal…” sebuah suara mampir. Aku dan Freza menoleh. Satu sosok tinggi menjulang seolah sedang menghadang kami. Rambutnya gondrong, kulitnya coklat. Ia memperkenalkan diri sebagai Hadi.
“Keretanya sudah datang. Teman-teman sudah ada yang menunggu di kereta. Ayo!” ajaknya.
Aku menelan ludah. Beuuh… Bucek Depp berkulit cokelat!
Kami masuk. Ternyata rombongan itu sudah lengkap, tapi masih terpisah-pisah karena sebagian sudah duduk di kereta, sebagian lagi sedang shalat jamak di mushala stasiun. Hadi mengantar kami sampai ke tempat duduk kami di kereta. Rupanya kami menempati gerbong paling ujung dari kereta Matarmaja. Di sanalah aku berkenalan dengan empat orang yaitu Rei, Wildan, Bayu, dan Aros. Mereka rame dan kocak sekali. Setelah menaruh carrier dan ngobrol sebentar, muncul dua makhluk terakhir yang baru kembali dari mushala.
Salah satu dari mereka, Ben, pemuda bertubuh serupa Freza, tersenyum dan menyapa kami dengan gaya kemayunya. Teman-temannya tertawa-tawa meledek. Sedangkan pemuda yang satunya, langsung duduk di kursinya tanpa ekspresi. Hadi yang menegurnya, “Hei, Ang, nggak mau kenalan lu?”
Yang dipanggil cuek saja.
Aku duduk di dekat Rei yang rupanya adalah seorang cewek tomboy. Dari ceritanya aku tahu bahwa ia seorang karateka, kawan berlatih Hadi yang mantan ketua Mapala di kampusnya. Aros dan Bayu adalah aktivis dakwah kampus. Sedangkan Ben, sama seperti Hadi, adalah seorang pekerja kantor, dan Freza segera akrab dengan “kembarannya” yang satu itu. Rei masih aktif di Mapala, sedangkan Ang dulu juga aktif ketika masih kuliah.
Sosok Ang ini, mengingatkanku pada Kang Juni. Dingin!
Ya, sepanjang perjalanan, hanya dia yang tidak banyak terlibat dalam obrolan. Kesibukannya hanya dua hal: memencet-mencet Blackberrynya, atau membaca sebuah buku humor yang cukup tebal, tapi tidak cukup untuk membuatnya tertawa sedikit pun.
Ciri-ciri orang aneh.
Tapi aku cukup terhibur dengan ulah Hadi dan teman-teman yang selalu heboh dan mengesankan. Ben rupanya pandai menyanyi, jadi ketika Hadi kesulitan tidur di malam hari, ia dengan sukarela menyanyikan nina bobo. Suasana kereta yang ramai karena banyak penjual makanan mondar-mandir memang tidak kondusif untuk tidur.
Jam enam pagi, hari mulai terang, terlihat dari kaca jendela. Rei baru bisa tidur setelah semalam katanya hanya tertidur dua jam. Formasi lengkap, kecuali… Ya, hanya Ang yang tidak ada.
“Za, kita ke ujung kereta yuk. Teh Mei bilang, asyik ngeliat rel di belakang kereta yang lagi jalan,” kataku pada Freza. Anak itu setuju. Aku mengalungkan kameraku ke leher. Kami pun beranjak meninggalkan teman-teman kami yang masih tidur ayam-ayam.
Tak kusangka, di ujung kereta itu, Ang sedang berdiri sambil bersandar di pintu. Ia melihat kami, dan aku tersenyum kikuk ke arahnya.
“Oh, rupanya Mas Ang di sini…,” kata Freza. Ang cuma mengangguk kecil.
Rencanaku yang tadi ingin bergaya norak bin narsis dengan latar rel kereta jadi kuurungkan. Malu pada Ang yang cool itu. Akhirnya, aku harus berpuas diri memotret rel saja.
Aku dan Freza duduk di pintu sambil memandangi rel. Tapi lama-kelamaan, pusing juga melihat rel yang seolah bergerak cepat itu. Aku berdiri. Ang masih sibuk memencet BB-nya. Apa saja sih yang dipencetnya sepanjang hari, kok nggak beres-beres?
“Sudah pernah naik gunung?”
Hah? Si es kutub ini menyapaku? Omong-omong, ‘Es Kutub’ itu adalah sebutan Rei untuk Ang, ketika kutanyakan padanya mengapa cowok yang satu itu sangat pendiam.
“Oh, pernah. Sudah tiga kali.”
Dia mengangguk, tetap tidak menatapku. Lalu dia kembali menjadi es kutub.
Gila nih orang, cakep-cakep, nggak pinter ngomong. Kuamati dia sejenak. Baju kaos biru tuanya sangat keren. Ia memakai celana selutut dan sandal gunung. Rambutnya cepak, bertolak belakang dengan Hadi yang gondrong. Dan wajahnya…, mengapa aku seperti familiar?
“Mas Ang sudah pernah ke Semeru sebelumnya?” aku memberanikan diri. Ya, kapan lagi ngobrol dengan es kutub?
“Ini sudah yang ketiga kali,” jawabnya.
Wuiihh….
“Ooh… memang sudah sering naik gunung, ya?” tanyaku lagi.
“Lumayan.”
“Ooh… ke Rinjani sudah?” aku menyebutkan gunung tertinggi di Indonesia setelah Puncak Jayawijaya di Papua.
“Sudah.”
Mantap!
Aku menyebutkan nama gunung-gunung lainnya. Dan ternyata, hampir semua gunung yang sudah ada di Indonesia ini sudah pernah ia daki! Wah, Teh Mei akan bilang apa kalau kubilang aku bertemu climber keren yang sudah mendaki puluhan gunung di Indonesia? Dan bawa Blackberry pula ke gunung!
“Hebat sekali…” aku tidak bisa menyembunyikan ketakjuban.
“Bukannya kau sudah tahu itu?” tanyanya.
“Apa?”
“Bukannya kau sudah pernah menulis di wallku dan memujiku seperti tadi? Kau juga sering mengomentari catatan perjalanan yang kutulis dan foto-foto yang kuposting?”
Aku tentu saja kaget. “Masa sih? Memang nama Facebook Mas Ang apa?”
“Angkasa Maret. Itu nama lengkapku. Aku lahir di bulan Maret. Dan kalau tidak salah dengar, sepertinya namamu juga Maret…”
Aku terhenyak. Kaget lapis kuadrat plus malu. Aku kini ingat dengan Facebook itu, dan mengapa wajahnya kurasakan familiar. Aku—bisa dibilang fans dari catatan perjalanan dan foto-fotonya, meskipun kebanyakan foto yang ia posting adalah foto panorama, tentu. Aku memang kurang hafal dengan teman-teman Facebookku, karena sebagian juga adalah teman-teman yang asal kenal saja. Dan untuk akun Angkasa Maret, aku merasa istimewa, karena namaku ada di situ.
“Kau ingat?” tanyanya.
“Y-yya…,” aku berusaha menutupi kikuk. “D-dan kurasa… karena itulah aku yakin mau bergabung dengan rombongan kalian. Dari catatan perjalanan… dan foto-foto itu… aku yakin kalian teman-teman yang baik.”
“Orang tidak bisa dinilai baik buruknya cuma dari tulisan dan fotonya saja,” potongnya cepat.
Aku tertegun. Kok mirip banget sama perkataan Kang Juni?
Ciri-ciri orang mencurigakan, nih.
Ang berjalan masuk ke gerbong, sementara aku masih tertegun dan hanya bisa menatap punggungnya.
Hei hei… Maret, mengapa hanya diam? Bukankah kau baru saja bertemu dengan ksatria berkuda putih? Aku merutuki diri sendiri, tapi tetap belum berhasil menguasai kesadaranku.
Tiba-tiba Ang berhenti sebentar dan menoleh sedikit ke belakang, ke arahku, “Salam untuk Mei Anandia.”
Aku terbelalak. Dari mana dia tahu nama Teh Mei?
“Memang orang tak bisa dinilai baik buruknya hanya dari notes dan fotonya, seperti keyakinan Kang Juni,” lanjutnya. “Tapi aku tetap menyesal dengan perjodohan Mei. Oh, tidak. Katakan aku tidak menyesal, hanya… sedikit sedih.”
Tanganku memegang erat pintu gerbong. Aku teringat, Teh Mei pernah cerita tentang taaruf-nya yang gagal dengan seorang ikhwan, gara-gara Kang Juni tidak setuju. Kemudian Kang Juni menjodohkan Teh Mei dengan teman kerjanya. Dan aku yakin, dulu Teh Mei mendaki Semeru bersama rombongan teman-temannya, termasuk Angkasa ini.
“Seandainya edelweiss boleh dipetik, aku ingin menitipkan satu untuknya. Tapi karena tidak boleh, kutitipkan satu foto bunga-bunga edelweiss saja,” katanya lagi, lalu meninggalkan aku, dan Freza yang tertidur di dekat pintu gerbong.
(sumber : annida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar