Sabtu, 17 Desember 2011

SEBUAH CERITA

Belum sampai 30 tahun usiaku ketika istriku melahirkan anak pertamaku.



Masih aku ingat malam itu, dimana aku menghabiskan malam bersama dengan teman-temanku hingga akhir malam, dimana waktu semalaman aku isi dengan ghibah dan komentar-komentar yang haram. Akulah yang paling banyak membuat mereka tertawa, membicarakan aib manusia, dan mereka pun tertawa.





Aku ingat malam itu, dimana aku membuat mereka banyak tertawa. Aku punya bakat luar biasa untuk membuat mereka tertawa. Aku bisa mengubah nada suara hingga menyeruapi orang yang aku tertawakan. Aku menertawakan ini dan itu, hingga tidak ada seorangpun yang selamat dari tertawaanku walaupun ia adalah para sahabatku. Hingga akhirnya sebagian dari mereka menjauhiku agar selamat dari lisanku.



Aku ingat pada malam itu aku mengejek seorang yang buta, yang aku melihatnya sedang mengemis di pasar. Lebih buruk lagi, aku meletakkan kakiku di depannya untuk mendorongnya hingga ia goyah dan jatuh, hingga dia berpaling dengan kepalanya dan tidak mengetahui apa yang ia katakan. Leluconku menyebabkan orang-orang yang ada di pasar tertawa.



Aku kembali ke rumah dalam keadaan terlambat seperti biasa. Aku mendapati istriku yang sedang menungguku tengah bersedih. Dia bertanya padaku, darimana saja aku? Aku menjawabnya dengan sinis, “Aku lelah.” Kelelahan tampak jelas diwajahnya. Ia berkata dengan menangis tersedu, “Aku lelah sekali, tampaknya waktu persalinanku sudah dekat.”



Dalam diamnya, air matanya menetes di pipinya. Aku merasa bahwa aku telah mengabaikan istriku dalam hal ini. Seharusnya aku memperhatikannya dan mengurangi begadangku, lebih khusus di bulan kesembilan dari kehamilannya ini. Akhirnya, aku membawanya ke rumah sakit dengan segera dan aku masuk ke ruang bersalin. Aku seakan merasakan sakit yang sangat beberapa saat. Aku menunggu persalinan istriku dengan sabar, tapi ternyata sulit sekali proses persalinannya.


Aku menunggu lama sekali hingga aku kelelahan. Maka aku pulang ke rumah dengan meninggalkan nomor HP ku di rumah sakit dengan harapan mereka mengabariku.



Setelah beberapa saat, mereka menghubungiku dengan kelahiran Salim. Maka aku bergegas ke rumah sakit. Pertama kali mereka melihatku, aku bertanya tentang kamarnya. Tetapi mereka memintaku untuk menemui dokter yang bertanggung jawab dalam proses persalinan istriku. Aku berteriak kepada mereka: “Dokter apa? Aku hanya perlu melihat anakku.” Akan tetapi mereka mengatakan: “Anda harus menemui dokter terlebih dahulu.”




Akhirnya aku menemui dokter tersebut. Lantas dia berbicara kepadaku tentang musibah dan ridha terhadap takdir. Kemudian ia berkata: “Mata kedua anak anda buruk, dan sepertinya dia akan kehilangan penglihatannya!”




Aku menundukkan kepala dan berusaha mengendalikan ucapanku. Aku jadi teringat dengan pengemis buta yang aku dorong di pasar dan menertawakannya di hadapan manusia.




Maha Suci Allah, sebagaimana engkau mengutuk, maka engkau akan dikutuk. Aku sangat sedih dan tidak mengetahui apa yang aku katakan. Kemudian aku ingat istri dan anakku. Aku berterima kasih kepada dokter atas kelemah lembutannya, lantas aku berlalu dan tidak melihat istriku. Adapun istriku maka dia tidak bersedih, dia ridha dan beriman terhadap takdir Allah. Seringkali ia menasehatiku untuk menjaga diri dari menertawakan orang lain, dan ia juga senantiasa mengulang-ulanginya agar aku tidak ghibah.



Kami keluar dari rumah sakit bersama Salim. Sungguh, aku tidak banyak memperhatikannya. Aku menganggapnya tidak ada di rumah. Ketika tangisannya sangat keras, aku lari ke lorong untuk tidur di sana. Sedangkan istriku sangat memperhatikan dan mencintainya. Sebenarnya aku tidak membencinya, tetapi masih belum bisa mencintainya.



Salim pun semakin besar. Mulailah dia merangkak, akan tetapi cara merangkaknya aneh. Umurnya hampir setahun, dan mulailah dia berjalan. Maka semakin jelas jika dia pincang. Maka beban yang berada di pundakku semakin besar. Setelah itu istriku melahirkan anak yang normal setelahnya, Umar dan Khalid. Berlalulah beberapa tahun dan Salim semakin besar, dan tumbuh besar pula saudara-saudaranya. Aku sendiri tidak seberapa suka duduk-duduk di rumah, seringkali aku menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku.




Istriku tidak pernah putus asa untuk senantiasa menasehatiku. Dia senantiasa mendoakanku agar mendapat hidayah. Dia tidak pernah marah terhadap perbuatanku yang gegabah. Akan tetapi, ia sangat bersedih jika melihatku banyak memperhatikan saudara-saudara Salim,


sementara kepada Salim aku meremehkannya. Salim semakin besar dan harapanku kepadanya juga semakin besar. Aku tidak melarang ketika istriku memintaku agar mendaftarkan Salim di salah satu sekolah khusus penyandang cacat. Tidak terasa aku telah melalui beberapa tahun hanya aku gunakan untuk bekerja, tidur, makan dan begadang dengan teman-temanku.



Pada hari Jumat, aku bangun pada pukul 11.00 waktu zhuhur. Dan ini masih terlalu pagi bagiku, dimana ketika itu aku diundang untuk menghadiri suatu perjamuan. Aku berpakaian, mengenakan wewangian dan hendak keluar. Aku berjalan melalui lorong rumah, namun wajah Salim menghentikan langkahku. Dia menangis dengan meluap-luap!

Ini adalah kali pertama aku memperhatikan Salim semenjak dia masih kecil. Telah berlalu 10 tahun, tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Aku mencoba untuk pura-pura tidak tahu, tetapi tidak bisa. Aku mendengarkan suaranya yang sedang memanggil ibunya, sementara aku sendiri berada di dalam kamar. Aku melihatnya dan berusaha mendekat kepadanya.



Aku berkata: “Salim, mengapa engkau menangis?” Ketika mendengar suaraku, ia berhenti menangis. Maka ketika ia merasa aku telah berada di dekatnya, dia mulai merasakan apa yang ada di sekitarnya dengan kedua tangannya yang kecil. Dengan apakah dia melihat? Aku merasa bahwa dia berusaha untuk menjauh dariku!!



Seolah-olah ia berkata: “Sekarang engkau telah merasakan keberadaanku. Dimana saja engkau selama 10 tahun yang lalu?!” Aku mengikutinya, ia masuk ke dalam kamarnya. Ia menolak memberitahukan kepadaku sebab dari tangisannya. Maka aku mencoba untuk berlemah lembut kepadanya. Mulailah Salim menjelaskan sebab tangisannya. Aku mendengar ucapannya, dan aku mulai bangkit.




Apakah kalian tahu apa yang menjadi sebabnya!! Saudaranya, Umar, terlambat, terlambat mengantarkannya pergi ke masjid, sebab ketika itu adalah shalat jumat, dia khawatir tidak mendapatkan shaf pertama. Ia memanggil Umar, ia memanggil ibunya, akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, akhirnya ia menangis. Aku melihat airmata yang mengalir dari kedua matanya yang tertutup. Aku belum bisa memahami kata-katanya yang lain. Aku meletakkan tanganku kepadanya dan berkata: “Apakah untuk itu engkau menangis, wahai Salim…?!”

Dia berkata, “Ya…”



Aku telah lupa dengan teman-temanku, aku telah lupa dengan undangan perjamuan.



Aku berkata: “Salim, jangan bersedih! Tahukah engkau siapakah yang akan berangkat denganmu pada hari ini ke Masjid?”



Ia berkata: “Dengan Umar tentunya, tetapi ia selalu terlambat.”





Aku berkata: “Bukan, tetapi aku yang akan pergi bersamamu.”





Salim terkejut, ia seakan tidak percaya. Dia mengira aku mengolok-oloknya. Dia meneteskan airmata kemudian menangis. Aku mengusap airmatnya dengan tanganku dan aku pegang tangannya. Aku ingin mengantarkannya dengan mobil, tetapi ia menolak seraya mengatakan: “Masjidnya dekat, aku hanya ingin berjalan menuju masjid!”







Aku tidak ingat kapan kali terakhir aku masuk ke dalam masjid. Akan tetapi ini adalah kali pertama aku merasakan adanya takut dan penyesalan atas apa yang telah aku lalaikan selama beberapa tahun belakangan. Masjid itu dipenuhi dengan orang-orang yang shalat, kecuali aku mendapati Salim duduk di shaf pertama. Kami mendengarkan khutbah jumat bersama, dan dia shalat di sampingku. Bahkan, sebenarnya akulah yang shalat di sampingnya.








Setelah shalat, Salim meminta kepadaku sebuah mushaf. Aku merasa aneh, bagaimana dia akan membacanya padahal ia buta? Aku hampir saja mengabaikan permintaannya dan berpura-pura tidak mengetahui permintaannya. Akan tetapi aku takut jika aku melukai perasaannya. Akhirnya aku mengambilkan sebuah mushaf. Aku membuka mushaf dan memulainya dari surat al Kahfi. Terkadang aku membalik-balik lembaran, terkadang pula aku melihat daftar isinya. Maka ia mengambil mushaf itu dari tanganku kemudian meletakkannya. Aku berkata: “Ya Allah, bagaimana aku mendapatkan surat al kahfi, aku mencari-carinya hingga mendapatkannya di hadapannya!!”





Mulailah ia membaca surat itu dalam keadaan kedua matanya tertutup. Ya Allah…!! Ia telah hafal surat al Kahfi secara keseluruhan…!




Aku malu pada diriku sendiri. Aku memegang mushaf, namun aku rasakan seluruh anggota badanku menggigil. Aku baca dan aku baca. Aku berdoa kepada Allah agar mengampuniku dan memberi petunjuk kepadaku. Aku tidak kuasa, maka mulailah aku menangis seperti anak kecil. Manusia masih berada di masjid untuk mendirikan shalat sunnah. Aku malu pada mereka, maka mulailah aku menyembunyikan tangisanku. Maka berubahlah tangisan itu menjadi isakan.



Aku tidak merasakan apa-apa ketika itu kecuali melalui tangan kecil yang meraba wajahku dan mengusap kedua airmataku. Dialah Salim!! Aku dekap dia ke dadaku dan aku melihatnya. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Engkau tidaklah buta wahai anakku, akan tetapi akulah yang buta, ketika aku bersyair di belakang orang fasiq yang menyeretku ke dalam api neraka.”




Kami kembali ke rumah. Istriku sangat gelisah terhadap Salim. Namun seketika itu juga kegelisahannya berubah menjadi airmata kebahagiaan ketika ia mengetahui bahwa aku telah shalat jumat bersama Salim.




Sejak saat itu, aku tidak pernah ketinggalan untuk mendirikan shalat jamaah di masjid. Aku telah meninggalkan teman-teman yang buruk. Sekarang aku telah mendapatkan banyak teman yang aku kenal di masjid. Aku merasakan nikmatnya iman bersama mereka. Aku mengetahui dari mereka banyak hal yang dilalaikan oleh dunia. Aku tidak pernah ketinggalan mendatangi kelompok-kelompok pengajian atau shalat witir.



Aku telah mengkhatamkan al Quran beberapa kali dalam sebulan. Lisanku telah basah dengan dzikir agar Allah mengampuni dosa-dosaku berupa ghibah dan menertawakan manusia. Aku merasa lebih dekat dengan keluargaku. Hilang sudah ketakutan dan belas kasihan yang selama ini ada di mata istriku. Senyuman tidak pernah pergi menjauhi wajah anakku, Salim. Siapa yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah seorang malaikat dunia beserta isinya. Aku banyak memuji Allah atas segala nikmat-Nya.




Suatu hari, teman-temanku yang shalih menetapkan diri melakukan safar untuk berdakwah. Aku ragu-ragu untuk pergi. Aku melakukan istikharah dan bermusyawarah dengan istri. Aku merasa dia akan menolak keinginanku. Akan tetapi ternyata sebaliknya, ia menyetujui keinginanku! Aku sangat bahagia, bahkan ia memotivasiku. Dia telah melihat masa laluku, dimana aku melakukan safar tanpa musyawarah dengannya sebagai bentuk kefasiqan dan perbuatan jahat.



Aku menghadap ke arah Salim. Aku mengabarinya jika aku hendak melakukan safar. Maka dia memegangku dengan kedua tangannya yang masih kecil sebagai ungkapan selamat jalan.



Aku telah meninggalkan rumahku lebih dari satu bulan. Selama itu, aku masih senantiasa menghubungi istriku dan juga berbicara kepada anak-anakku selama ada kesempatan. Aku sangat rindu kepada mereka. Ah, betapa rindunya aku kepada Salim. Aku sangat ingin mendengarkan suaranya. Dialah satu-satunya yang belum berbicara denganku semenjak aku melakukan safar. Bisa jadi karena dia berada di sekolah, bisa juga dia berada di masjid ketika aku menghubungi mereka.



Setiap kali aku berbicara dengan istriku perihal kerinduanku padanya (Salim), maka ia tertawa suka cita dan bahagia. Kecuali kali terakhir aku meneleponnya, aku tidak mendengar tawanya seperti biasa, suaranya berubah.



Aku berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Salim.” Istriku menjawab: “Insya Allah…!” Kemudian ia terdiam.



Terakhir, aku pun kembali ke rumah. Aku ketuk pintu. Aku berangan-angan jika Salim yang akan membukakan pintu itu. Akan tetapi, aku mendapati anakku Khalid yang usianya belum sampai 4 tahun membukakan pintu. Aku gendong dia, dan dia berteriak-teriak: “Baba…baba…”



Aku tidak tahu kenapa dadaku berdebar ketika memasuki rumah.



Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Istriku menyambutku. Wajahnya mulai berubah, seolah-olah kebahagiaannya dibuat-buat.

Aku perhatikan ia baik-baik kemudian aku bertanya: “Ada apa denganmu?”

Ia berkata: “Tidak apa-apa.”




Tiba-tiba aku teringat Salim, maka aku berkata: “Dimana Salim.”

Istriku menundukkan wajahnya dan tidak menjawab. Airmata yang masih hangat menetes di pipinya.

Aku berteriak, “Salim…! Di mana Salim?”

Aku mendengar suara anakku Khalid yang hanya bisa mengatakan: “Baba…”

“Salim telah melihat surga,” kata istriku.




Istriku tidak kuasa dengan situasi ketika itu. Ia hendak menangis, hampir saja ia pingsan. Maka kemudian aku keluar dari kamar.

Aku tahu setelah itu, bahwa Salim terserang panas yang sangat tinggi beberapa hari sebelum kedatanganku. Istriku telah membawanya ke rumah sakit, ketika tiba disana maka ia menghembuskan nafas terakhir. Ruhnya telah meninggalkan jasadnya.


semoga cerita ini bermanfaat,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar